Tokoh Pers Salim Said Meninggal, Inilah Profilnya

salim
Tokoh pers Salim Said

MERCUSUAR.CO, Jakarta- Salim Said, tokoh pers dan perfilman nasional, meninggal dunia pada Sabtu (18/5/2024) malam pukul 19.33 WIB. Ia meninggal dunia di usia 80 tahun setelah sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kabar meninggalnya Salim Said dikonfirmasi oleh sang istri, Herawaty, melalui pesan singkat kepada sejumlah wartawan di Jakarta. Pesan tersebut turut menyebutkan, jenazah Prof Salim Said disemayamkan di rumah duka, Jalan Redaksi Nomor 149, Kompleks Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cipinang, Jakarta Timur.

Menurut rencana, jenazah akan dikebumikan pada Minggu (19/5/2024) siang di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Sepanjang hidupnya, Salim Said dikenal sebagai tokoh pers dan perfilman nasional, sekaligus pengamat militer. Lantas, seperti apa sosoknya?

Bacaan Lainnya

Profil Salim Said Dilansir dari Kompas.id, Sabtu, Salim Said lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 10 November 1943. Dia pernah belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia, ikut mendirikan Teater Kecil, serta banyak menulis esai dan kritik seputar teater dan film. Kendati demikian, Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) ini mengawali karier dengan menjadi seorang wartawan. Ia pernah menjadi redaktur sekaligus salah satu pendiri majalah Tempo. Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Jakarta, Salim Said merantau ke Solo, Jawa Tengah, pada usia 15 tahun, sebelum akhirnya menetap dan memulai karier di Jakarta.

Pada 1960-an, tulisannya mulai menghiasi lembaran kebudayaan berbagai majalah, seperti Mimbar Indonesia, Horison, dan Budaja Djaya. Sembari bekerja sebagai wartawan majalah Tempo, Salim Said melanjutkan pendidikan tinggi dengan berkuliah di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (UI) hingga 1979. Dia kemudian melanjutkan studi program doktor di Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat, di bidang ilmu politik.

Disertasinya yang cukup dikenal menyoroti peran politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masa revolusi 1945-1949. Tulisan ilmiah untuk meraih gelar doktor pada 1985 itulah yang mengantarnya sebagai sosok pengamat politik militer Indonesia.

Sepak terjang Salim Said di dunia perfilman Sekembalinya dari Amerika, Salim Said kembali giat di bidang kesenian, khususnya film. Dia terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1989. Tidak hanya itu, Salim Said juga didapuk sebagai anggota organisasi perfilman Indonesia, Dewan Film Nasional (DFN). Salim Said juga sempat menduduki kursi Ketua Hubungan Luar Negeri pada Panitia Tetap (Pantap) Festival Film Indonesia (FFI). Ia berkali-kali menjadi anggota juri FFI, serta menulis untuk media massa dalam dan luar negeri, seperti Suara Pembaruan (Indonesia), Cinemaya (India), atau East West (Honolulu, Amerika Serikat). Salim Said juga aktif dalam serangkaian kegiatan luar negeri untuk meninjau berbagai festival film internasional.

Mantan Duta Besar untuk Ceko Di sisi lain, Salim Said pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya pada 2006-2010. Guru Besar Ilmu Politik ini pun merupakan seorang penulis yang aktif menerbitkan buku bertema politik, militer, dan perfilman. Beberapa di antaranya, Militer Indonesia dalam Politik (2001), Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002), dan Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991). Pada usianya yang ke-75 tahun, Salim Said meraih penghargaan Achmad Bakrie (PAB) di bidang pemikiran sosial. Kala itu, Salim dinilai telah mengisi ruang kosong pengetahuan masyarakat mengenai alam pikiran tentara yang melandasi gerakan politik Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Tanah Air.(*)

Pos terkait