Sejarah Desa Cilapar, Dari Perang Bithing Hingga Trauma Healing

Ilustrasi desa cilapar purbalingga
Ilustrasi desa cilapar purbalingga

MERCUSUAR.CO, Purbalingga – Desa Cilapar, yang kini menjadi bagian integral dari Kabupaten Purbalingga, ternyata memiliki sejarah yang kaya dan sarat makna. Menurut catatan sejarah yang diriwayatkan, Desa Cilapar memiliki akar yang dalam dalam konteks Kesultanan Mataram.

Dilangsir dari website resmi Desa Cilapar, dalam pembagian wilayah Banyumas yang dilakukan oleh Adipati Mrapat, Desa Cilapar menjadi salah satu dari empat wilayah, bersama dengan Kadipaten Banyumas, Banjarnegara, dan Cilacap.

Bacaan Lainnya

Purbalingga, sebagai bagian dari pembagian tersebut, mendapatkan kedaulatan dan penguasa sendiri. Namun, masa Adi Pati Arsantakan menjadi titik awal penamaan desa-desa di wilayah Kecamatan Kaligondang dan sekitarnya.

Penamaan desa-desa ini ternyata bersumber dari perang saudara antara utusan Pangeran Diponegoro dan prajurit Adipati Arsantakan yang dibantu oleh tentara kolonial Belanda.

Pada masa itu, Pangeran Diponegoro menyerang Purbalingga karena Adipati Arsantaka menjalin aliansi dengan Belanda. Perang ini dikenal sebagai Perang Bithing, sebuah konflik politik adu domba yang menimbulkan korban sia-sia di kalangan penduduk pribumi.

Zaman tersebut juga menciptakan tradisi unik dalam pemilihan kepala desa (Lurah), yang identik dengan perebutan “bithing”. Pemilih dianggap sebagai “bithing”, menandakan gejolak politik yang masih terasa hingga kini.

Perang Bithing membawa Adipati Singayudha dan pasukannya menyerang dari bagian timur, merambah wilayah di Kejobong seperti Lamuk, Penolih, Pagembrungan, Kesamen (Selanegara), hingga Cilapar. Cilapar sendiri memiliki arti “mecicil” dan “ngampar”.

Prajurit yang bertahan, seperti Jaya Prana, kemudian menjadi Lurah/Demang Pertama dan secara resmi menamai daerah ini sebagai Cilapar, mengabadikan peristiwa tragis tersebut.

Jaya Prana tidak berjuang sendirian; dua tokoh sentral lainnya yang diyakini ikut tinggal di Cilapar adalah Anggadipa, seorang ahli bercocok tanam, dan Mbah Soleh, seorang tokoh spiritual (kyai) yang menyebarkan dan mengajarkan Islam di wilayah Cilapar dan sekitarnya.

Perang Bithing juga mencapai tanah Pajajaran, mendorong Raja Pajajaran untuk mengutus Nyai Ambarwati, yang dikenal sebagai Nyai Gadung Melati.

Keputusan mengutus seorang perempuan dalam tugas ini dikarenakan banyak janda dan anak-anak yang kehilangan keluarga mereka akibat perang. Tugas utusan ini lebih dikenal dengan istilah trauma healing, bertujuan untuk pemulihan psikologis.

Hingga saat ini, tokoh-tokoh tersebut diakui sebagai para pendiri Desa Cilapar, dan petilasannya dianggap sebagai saksi bisu sejarah masa lalu.

Penghormatan terhadap mereka menjadi tradisi dalam doa, terutama pada acara-acara besar tingkat desa sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas perjuangan mereka dalam membentuk identitas dan sejarah Desa Cilapar.

Pos terkait