WONOSOBO, Mercusuar – Upaya membangun ketahanan masyarakat terhadap paham kekerasan dan radikalisme terus digalakkan dari tingkat akar rumput. Yayasan Social Analisis and Research Institute (SARI) menggandeng jaringan Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) untuk menggelar seminar sosialisasi bertajuk Upaya Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan.
Kegiatan yang berlangsung di Wonosobo itu menyasar 13 desa di empat kecamatan. Sebagian besar merupakan desa-desa dengan kantong Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik aktif maupun purna. Kehadiran unsur pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan lintas sektor menandai pentingnya sinergi dalam menghadapi ancaman ideologi kekerasan di tingkat komunitas.
Dari pantauan langsung di lokasi, seminar dibuka oleh Mulyadi dari Migrant Care, bersama perwakilan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Wonosobo. Kepala Badan Kesbangpol, Agus Kristianto, tampil sebagai narasumber utama dengan menyoroti pentingnya deteksi dini dan peran aktif warga desa dalam mengenali bibit-bibit ekstremisme.
“Pencegahan ekstremisme tidak bisa hanya diserahkan ke negara. Komunitas desa perlu punya pemahaman dasar soal toleransi dan potensi radikalisme di lingkungan sekitar,” tegas Agus di hadapan peserta.
Berbagai OPD turut hadir dalam kegiatan ini, antara lain Bappeda, Dinsos, dan DP3AP2KB. Sementara dari unsur non-pemerintah, tampak keterlibatan UPIPA, kelompok PEKA (Perempuan Kepala Keluarga), Kawal PMI, serta sejumlah organisasi akar rumput lainnya.
Ketua SARI, Tri Hananto, menjelaskan bahwa Wonosobo menempati urutan kesembilan sebagai penyumbang PMI terbanyak di Jawa Tengah. Berdasarkan data BP2MI, lebih dari 10.000 warga Wonosobo tercatat masih bekerja di luar negeri dalam kurun 2018 hingga 2024.
Namun, besarnya jumlah itu belum diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Tri menyebut, sejumlah kasus kekerasan terhadap PMI masih kerap ditemukan.
“Bentuknya beragam, mulai dari eksploitasi, KDRT, hingga penelantaran. Dan ironisnya, penanganan dari tingkat daerah belum cukup maksimal,” ungkapnya.
Tri menambahkan, meskipun kasus paparan ekstremisme di kalangan PMI asal Wonosobo tergolong rendah, kewaspadaan tetap diperlukan.
“Ada beberapa kasus dari wilayah tetangga seperti Magelang dan Purworejo, yang bahkan berujung deportasi. Ini jadi pelajaran penting bagi kita,” katanya.
Dari catatan panitia, ini merupakan kegiatan sosialisasi kedua setelah sebelumnya digelar pada akhir 2024 lalu. Materi dan modul yang digunakan dikembangkan oleh kader-kader Desbumi yang pernah mengikuti pelatihan bersama BNPT di Banyuwangi.
“Fokus kami adalah memperkuat pemahaman dasar soal intoleransi, radikalisme, hingga ekstremisme. Komunitas perlu tahu bagaimana mengenali gejala awal dan cara mencegahnya di lingkungan mereka sendiri,” ujar Tri.
Sesi testimoni juga digelar dalam forum ini. Salah satu narasumber, Pak Pri, membagikan pengalamannya menangani kasus deportan yang pernah terpapar radikalisme. Ia menyinggung pentingnya pendampingan pascakepulangan, yang menurutnya masih kurang mendapat perhatian.
Sebagai catatan, selama ini sejumlah kasus kekerasan terhadap PMI lebih banyak ditangani oleh lembaga-lembaga seperti UPIPA atau kelompok relawan lokal. Namun untuk isu ekstremisme, pendekatan yang dibutuhkan lebih kompleks dan sensitif.
“Beberapa keluarga memang tertutup. Mereka sulit terbuka, bahkan kepada pendamping. Karena itu, pendekatannya harus pelan dan dari komunitas sendiri,” tutur Tri.
Harapan ke depan, komunitas desa mampu melakukan langkah pencegahan secara mandiri dan berkelanjutan. Pemerintah daerah diharapkan turut mendukung dengan kebijakan dan alokasi sumber daya yang berpihak pada penguatan kapasitas desa.