Mercusuar.co, Jakarta – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN.
Mahfud MD dikutip dari akun instagramnya menganggap bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar.
Oleh karena itu Mahfud MD mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum.
Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut.
Alasan hukumnya begini:
1. Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses adminitrasi yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.
Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara.
Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya.
Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tidak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
2. Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.
3. Menurut Mahfud MD, vonis PN tersebut tidak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi.
Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU.
4. Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU tapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.