Sejarah Kenapa Tidak Ada Penjual Nasi di Desa Randegan

Desa Radegan
Desa Randegan, Tanggulangin, Sidoarjo.

MERCUSUAR.CO, Sidoarjo – Sebuah desa di Sidoarjo sama sekali tidak ada penjual nasi. Desa itu adalah Desa Randegan, Tanggulangin, Sidoarjo. Terdapat sejarahnya mengapa warga desa itu pantang menjual menu nasi seperti nasi rawon, nasi soto, nasi campur, hingga nasi goreng.

Nyatanya, masyarakat setempat mempunyai pantangan yang dipercaya secara turun- temurun. Solkhan, masyarakat RT 3, RW 1, Desa Randegan mengakui bahwa masyarakat di Desa Randegan yang berdagang memanglah enggan menjual makanan olahan nasi.

Bacaan Lainnya

Terdapat keyakinan yang masih diyakini masyarakat desa setempat secara turun- temurun. Jika terdapat yang nekat jualan nasi, maka niscaya hidupnya akan membawa sial.

“Memanglah benar kalau masyarakat Desa Randegan hingga saat tidak ada yang berjualan nasi, sebab berjualan nasi (dipercaya) akan membawa sial kehidupan masyarakat,” kata Solkhan penjual lontong tahu dilangsir dari traveldetik.com, Senin (28/8/2023).

Lalu keyakinan semacam apa yang membuat masyarakat setempat sama sekali tidak berani berdagang makanan yang melibatkan nasi?

Ternyata, keyakinan masyarakat itu berhulu pada cerita masyarakat tentang tokoh pembabat alas desa setempat yang bernama Suryo Wiryo Diharjo, atau biasa dikenal selaku Mbah Sosro.

Suyadhim, juru kunci makam Mbah Sosro menjelaskan kalau berdasarkan cerita dari nenek moyang masyarakat di Desa Randegan disebutkan bahwa almarhum Mbah Sosro ini orang yang pertama kali membabat alas di kampung Randegan.

“Dari cerita juru kunci sebelumnya, beliau almarhum ini tidak rela apabila masyarakat Desa Randegan bekerja sebagai penjual nasi,” kata Suyadhim.

Suyadhim menambahkan, sejauh yang diyakini masyarakat, jadi penjual nasi pada saat itu sangat sulit serta menyedihkan. Tetapi, cerita yang sebenarnya seperti, apa dirinya tidak mengetahuinya.

“Tetapi kepercayaan serta keyakinan itu masih melekat pada masyarakat Desa Randegan. Sampai saat ini tidak terdapat masyarakat desa itu berjualan nasi,” imbuh Suyadhim.

Pantangan ataupun dalam istilah Jawa sirikan itu melekat pada seluruh masyarakat yang berasal dari Desa Randegan. Apalagi, pantangan itu tetap dipegang walaupun masyarakat itu telah pindah ke desa yang lain.

“Walaupun telah pindah masyarakat tersebut tidak berani berjualan nasi, sebab sudah ada bukti,” tandas Syuadhim.

Untuk orang yang sekadar lewat, bisa jadi tidak begitu menyadari keganjilan ini. Namun untuk masyarakat pendatang yang tinggal di desa itu, tidak adanya warung ataupun pedagang yang menjual makanan olahan nasi tentu akan jadi pertanyaan besar.

Masyarakat yang Menjual Nasi di Desa Radegan Akan Sial

Masyarakat Desa Randegan RT 1, RW 1 yang merupakan pemilik warung Lontong Lodeh Mbak Anik mengaku tahu cerita larangan menjual nasi di Desa Randegan itu dari neneknya. Tidak hanya itu, masyarakat setempat pula dilarang menjual rujak ulek.

“Menurut ceritanya apabila terdapat yang berjualan nasi kehidupannya akan sial terus, bahkan rumah tangganya tidak harmonis,” kata Anik.

Anik yakin pantangan itu tidak boleh dilanggar. Ia tetap patuh dengan kepercayaan itu supaya mendapat rezeki yang barokah.

“Sebab ada pantangan itu saya tidak berani melanggar. Kami berjualan ingin mendapatkan keselamatan serta rezeki yang barokah,” tukasnya.

Pos terkait