Mercusuar, Jakarta– Peringatan Hari Guru menjadi upaya pemerintah untuk mewujudkan penghormatan kepada guru di seluruh Indonesia. Hari nasional ini dilangsungkan setiap tanggal 25 November dan telah berlangsung rutin sejak tahun 1994. Meski demikian, rutinitas tahunan tidak serta merta selaras dengan perhatian strategis negara, utamanya terkait kesejahteraan dan kualitas guru Indonesia.
Padahal, isu ini telah berlarut-larut terdengar juga pada setiap tahunnya. Berbagai data, pemberitaan, dan kabar dari sekolah menunjukkan permasalahan tersebut. Kondisi demikian menjadi anti-tesis dari kontribusi guru dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, apalagi dengan hadirnya visi Indonesia Emas 2045. Dengan demikian, momentum Hari Guru selayaknya digunakan untuk meningkatkan kesadaran akan situasi guru di Indonesia.
Jumlah Guru di Indonesia
Secara periodik, negara memperbaharui data jumlah guru Indonesia melalui Data Pokok Pendidikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dalam semester ganjil periode 2024/2025, tercatat Indonesia memiliki total 3.426.137 orang guru. Jumlah tersebut terdiri atas 967.420 guru laki-laki dan 2.458.717 guru perempuan.
Guru Sekolah Dasar (SD) merupakan yang terbanyak dari angka tersebut, mencapai jumlah 1.508.620 orang. Berada di peringkat selanjutnya adalah guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencapai 682.571 guru. Jumlah tersebut cukup jauh dengan angka guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 346.376 orang.
Sementara terkait distribusi lokasi, jumlah guru terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat, mencapai 480.635 orang. Angka ini tampak sangat timpang dibandingkan dengan jumlah guru di Provinsi Papua Pegunungan sebanyak 7.777 orang. Bahkan, total jumlah guru di seluruh Pulau Papua hanya mencapai 37.329 orang.
Kesejahteraan Guru di Indonesia
Guru adalah penggerak utama roda pendidikan––baik bagi penduduk di jalan-jalan protokol kota hingga masyarakat terpencil tanpa akses beraspal. Sebagai roda penggerak, justru acap ditemukan kondisi guru yang jauh dari sejahtera. Mereka yang berkarya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) harus menghadapi situasi yang berisiko dan minim perhatian.
Kompaspedia (24/11/2023, Hari Guru Nasional: Nafas Guru di Daerah Terpencil) mencatat bagaimana para guru tersebut harus berjuang di atas segala keterbatasan dan kemiskinan. Survei Bank Dunia terhadap pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa 71 persen sekolah di pedalaman belum teraliri listrik.
Mayoritas sekolah yang disurvei, juga belum memiliki akses internet (83 persen) dan kelengkapan buku pelajaran (61 persen). Tidak hanya itu, rata-rata guru di wilayah 3T harus menempuh jarak yang luar biasa mencapai sekolah, yakni 149 km.
Belum lagi, guru-guru di daerah pedalaman tidak memiliki cukup tenaga bantu. Idealnya, satu guru mendidik setidaknya 20 orang siswa. Namun, tidak adanya distribusi tenaga yang sesuai mengharuskan guru merangkul hingga ratusan siswa. Di SD Tolikara, Papua, rasio guru dan siswa bahkan mencapai 1:222. Tentunya, hal ini akan berdampak pada kompetensi guru akibat faktor kelelahan dan minimnya fokus.
Segala keterbatasan perhatian dari pemerintah mendorong para guru untuk mengeluarkan koceknya sendiri. Di Desa Tani Baru, Kalimantan Timur, misalnya, Darta (56) harus mendanai sendiri transportasi menuju sekolah yang ia rintis, juga mengupayakan pengadaan air di sekolah. Sementara di Kampung Cicakal Girang, Banten, Ai Dewi (50) bahkan pernah tidak digaji sehingga harus mengharapkan makan dari warga desa.
Berbagai masalah kesejahteraan demikian diperparah dengan rendahnya gaji guru di Indonesia. Hal ini terungkap dari survei kesejahteraan yang dilakukan oleh Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang dilakukan pada Mei 2024 terhadap 403 guru dari beragam status di Indonesia. IDEAS menemukan bahwa 42 persen guru Indonesia memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan. Dari angka tersebut, bahkan 13 persen di antaranya memiliki pendapatan tak sampai Rp 500 ribu per bulan.
Selain itu, jika melihat dalam kategori responden “Guru Honorer/Kontrak” didapat pula data bahwa kelompok ini memiliki tingkat kesejahteraan yang paling rendah. Sebanyak 74 persen “Guru Honorer/Kontrak” memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan. Lebih lagi, 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan dibawah Rp 500 ribu.