Mercusuar.co, SEMARANG – Humas Setwan Provinsi Jawa Tengah, menggelar acara Focus Group Discusion (FGD) bertema “Etika Media Massa Era Global”, pada hari Rabu (14/12/2022) di DPRD Jawa Tengah.
Gelaran FGD itu untuk menjaga agar industri media tetap memegang teguh etika jurnalistik, terus menjadi tema hangat di kalangan wartawan dan akademisi.
Narasumber yang hadir dalam FGD tersebut antara lain Lintang Ratri Rahmiaji seorang dosen komunikasi Universitas Diponegoro (Undip), Sasongko Tedjo selaku Dirut Smol.id dan Arri Widiarto selaku Kepala Wilayah Ayomedia Network Jateng-DIY.
Sebagai akademisi, Lintang Ratri menyampaikan materi soal etis bermedia dan evaluasi konten. Dalam pemaparannya, Lintang memaparkan data konsumsi masyarakat terhadap informasi. Konsumsi informasi masyarakat tertinggi adalah dari online, kemudian urutan kedua dari TV, urutan ketiga media cetak, dan keempat paper.
Lintang juga menjelaskan jumlah media massa di indonesia ada 49.000 dan 43.300-nya online. Data tersebut dia sadur dari Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers Tahun 2016-2019.
“Jumlahnya sangat besar tapi aduan pelanggarannya juga besar,” ujar Lintang melaporkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media.
Kemudian Lintang mengatakan bahwa ketua komisi pengaduan dan penegakan Dewan Pers, Adi Zulkifli, melaporkan pada tahun 2021 ada 630 aduan pelanggaran yang masuk ke Dewan Pers.
“Seharusnya jika melihat kode etik jurnalistik Pasal 1, wartawan harus independen memberitakan berita yang akurat dan tidak beritikad buruk,” tegasnya.
Selain itu, Lintang menyampaikan sejauh ini banyak media yang tertaut dengan kepentingan politik dan ekonomi.
Sementara itu, Dirut Smol.id Sasongko Tedjo, wartawan senior selama 35 tahun mengaminkan pernyataan Lintang. Pelanggaran-pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena terjadi perubahan-perubahan landscape media.
“Jadi landscape media berubah total. Kalau jaman pak harto pers sangat dikendalikan dengan berbagai kesulitan ijin. Masuk jaman reformasi yang jadi sangat mudah membangun media tapi masih jelas platformnya. Dan sekarang masuk era disrupsi yang artinya perpecahan, karena banyak munculnya media sosial menjadi sulit membedakan mana produk media mana yang bukan,” ujarnya.
Menurut pria yang akrab disapa Pak Sas, perubahan landscape itu kecenderungan merusaknya besar. Apalagi, menurut Sas, saat ini banyak media dan wartawan terseret oleh media sosial.
“Dan apa lagi sekarang banyak konten kreator yang seolah-olah berperan sebagai wartawan, tapi sebenarnya bukan,” jelasnya.
Dan yang mengejutkan, menurut Sasongko, dari puluhan ribu media yang ada saat ini. Yang terverifikasi hanya sekitar 3000-an media saja.
“Jika menurut mbak lintang media yang terdaftar ada 49.000, faktanya media yang terverifikasi hanya 3000-an,” tandasnya.
Di akhir, Arri Widiarto yang saat ini menjadi kepala Wilayah Ayomedia Network Jateng-DIY, tak bisa dipungkiri bahwa media adalah industri yang memiliki potensi perputaran uang yang sangat besar. Wajar jika banyak media yang juga menjalankan bisnis demi keuntungan. Namun seyogyanya tidak boleh melanggar kode etik jurnalistik.
“Jadi saat ini yang menjadi lumbung keuntungan media adalah konten. Tapi seharusnya memang etika bermedia sesuai dengan etika jurnalistik diterapkan agar tidak menimbulkan hal-hal yang negatif,” tandasnya.(sunu)