Kelemahan Keamanan Siber di Indonesia Akibat Egosektoral

Kebijakan dan Kelemahan Siber di Indonesia
Kebijakan dan Kelemahan Siber di Indonesia

MERCUSUAR.CO, JakartaKeamanan Menteri Komunikasi dan Informatika  Budi Arie Setiadi mengungkapkan bahwa peretas meminta tebusan sebesar USD 8 juta atau sekitar Rp 131 miliar untuk melepaskan PDN. Namun, pemerintah menegaskan tidak akan memenuhi permintaan tersebut dan hingga kini belum berhasil merebut kembali kendali P

Pada tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat kedelapan dunia dalam jumlah kebocoran data, dan menjadi negara dengan jumlah pembobolan data tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data Index, pertahanan siber Indonesia masih lemah, dengan skor 3,46 poin, jauh di bawah rata-rata global sebesar 6,19 poin. Indeks Keamanan Nasional mencatat keamanan siber Indonesia hanya 64 persen, berada pada posisi ke-47 secara global.

Bacaan Lainnya

Presiden terpilih, Prabowo Subianto, berencana memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk melindungi data dan informasi penting negara. “Ini langkah penting untuk merespons serangan dan kejahatan siber serta menjaga stabilitas nasional,” ujar Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Budiman

Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai serangan siber menunjukkan kelemahan dalam sistem keamanan. “Peretasan yang berulang menunjukkan berbagai masalah, termasuk kurangnya kesadaran dan kepedulian terhadap keamanan siber di lingkungan pemerintah,” kata Fahmi. Ia menekankan pentingnya regulasi yang kuat dan koordinasi yang baik untuk mengatasi masalah.

Fahmi menjelaskan bahwa kewenangan dalam tata kelola keamanan siber masih tumpang tindih. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bertanggung jawab menjamin keamanan siber, namun kewenangan ini juga diatur dalam UU ITE, UU PDP, dan Perpres Nomor 82 Tahun 2022, yang mencakup Kementerian Kominfo. “BSSN tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka belum bisa bekerja maksimal karena kewenangan yang t

Selain itu, Indonesia belum memiliki UU Keamanan Siber yang memungkinkan BSSN melakukan koordinasi secara efektif. “BSSN telah meminta agar pembentukan UU ini menjadi prioritas, namun usulan ini harus datang dari kementerian,” ujar Fahmi. Saat ini, serangan siber diakomodasi sebagai ancaman perlindungan melalui UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, namun definis

Pakar keamanan siber Ruby Alamsyah menekankan perlunya aturan yang jelas untuk memastikan kewenangan dalam keamanan siber. “Egosektoral ini laki-laki

Ruby juga mengirimkan pentingnya sistem cadangan untuk mengatasi masalah keamanan. “Jika ada sistem cadangan, dampak serangan bisa diminimalkan. Pemerintah harus menyiapkan desain dan implementasi yang baik untuk mengoptimalkan keamanan siber,” j

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan keamanan siber dan mengurangi dampak serangan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Pos terkait