MERCUSUAR, Wonosobo, 29 Juli 2024 – Anggota DPRD Wonosobo dari Fraksi PDI Perjuangan Izanatul Muziah memiliki banyak resep dalam memperjuangkan rakyat. Perempuan yang lahir di Wonosobo 17 Oktober 1977 rajin turun ke masyarakat untuk menyerap aspirasi salah satunya konsen pada perjuangan pekerja migran.
“Daerah Wonosobo ini banyak buruh migran. Saya membantu dan berjuang bagi mereka,” katanya.
Menurut dia banyak persoalan yang dihadapi di lapangan saat mendampingi dan menerima pengaduan dari pekerja migran. Terutama mereka yang berangkat dari pedesaan. Soal permasalahan ekonomi, putus sekolah bagi keluarga yang ditinggalkan maupun persoalan perceraian.
Pernah menjadi kepala desa Sumberwulan, kecamatan Selomerto membuat dia paham dan membaur dengan masyarakat. Kehidupan di pedesaan menurutnya sangat kompleks dan memerlukan banyak pendekatan untuk menyelesaikan. Salah satu yang dia tempuh yaitu dengan melibatkan masyarakat dan musyarawah dalam setiap menuntaskan permasalahan.
Menurutnya Warga Negara Indonesia (WNI) dari Wonosobo yang bekerja di berbagai negara merupakan warga negara yang mempunyai hak menikmati berkat dan rahmat Tuhan serta memiliki kewajiban terhadap keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Anggota dewan yang biasa disapa Ziah ini akan berusaha memperjuangkan hak dan kesejahteraan para pekerja migran Indonesia (PMI), baik yang legal maupun yang masih dianggap ilegal. Di Wonosobo sendiri sudah terdapat peraturan daerah (Perda) yang mengatur dan melindungi kaum migran.
“Di Wonosobo ini pekerja migran menjadi prioritas. Pelatihan-pelatihan ketrampilan wirausaha bagi mereka dan keluarganya selalu diadakan,” ujarnya.
Realitas itu tampak nyata di kampungnya, sebuah desa kecil di Wonosobo yang mayoritas warganya menjadi pekerja migran. Warganya masih miskin, sama ketika ia masih remaja. Selama menjadi anggota DPRD dia akan terus berjuang untuk pekerja migran.
Dia berharap pekerja migran asal Wonosobo yang sudah berhasil kembali ke kampung halaman untuk membangun daerahnya. Untuk pengabdiannya kepada masyarakat Ziah menjadi kades pada periode 2007 sampai 2012.
Alumnus MAN Kaliberber pun memiliki banyak jaringan hingga lapis desa. Alumnus MTs Al Fatah Parakan Canggah ini pernah mengaji dengan kyai Hasyim paling tidak selama 3 tahun. Kemudian Ziah melanjutkan pendidikan sarjana ekonominya di Unwiku Purwokerto.
Pergantian rezim pemerintahan ternyata tak mampu menjadi lokomotif perbaikan regulasi perlindungan TKI. Ada kesalahan mendasar yang dilakukan pemerintah, yakni menempatkan isu TKI sebagai bagian persoalan ekonomi. Padahal, masalah TKI sangat kompleks, tak sekadar soal ekonomi. Mereka muncul karena kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, dan partisipasi politik, terutama perempuan. Persoalan lain yang menyulitkan koordinasi dan perlindungan TKI adalah belum tersedia bank data TKI yang terintegrasi. Data Kemenaker, Kemlu, dan BNP2TKI, serta Migrant Care justru berbeda-beda.
Muziah ingin revolusi dari desa yang hendak dikembangkan menjadi Desa Buruh Migran dengan kerjasama berbagai pihak dari ide pusat data terintegrasi tersebut. (Haqi)