Ini Pasal Bermasalah Izin Tambang Ormas, yang Disorot Walhi di PP Kegiatan Pertambangan

Pasal Bermasalah Izin Tambang Ormas
Pasal Bermasalah Izin Tambang Ormas

MERCUSUAR.CO, Jakarta – Pasal Bermasalah Izin Tambang Ormas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menyoroti empat pasal bermasalah dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto menyatakan, setidaknya ada empat pasal yang berpotensi dapat memberikan dampak serius terhadap tata kelola pertambangan di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Pertama, Rancangan Kerja dan Anggaran Biaya atau RKAB yang tidak diharuskan disusun tiap tahun. Hal ini terlihat dalam sejumlah Pasal yang menyebutkan bahwa kata “tahunan” dalam perencanaan RKAB itu dihapus. Di antaranya Pasal 22, Pasal 47, Pasal 120, Pasal 162, Pasal 177, Pasal 180, dan Pasal 183 PP 25/2024.

“Kalau PP ini kata ‘tahunan’ dihapus, implikasinya perusahaan bebas melakukan perencanaan, bahkan tidak melakukan,” katanya di kantor Walhi, Jakarta pada Kamis, 13 Juni 2024.

Selain itu, dampak perubahan perihal perencanaan RKAB ini bisa membuat perusahaan pengelola tambang bebas melakukan kegiatannya. Dengan artian, segala kegiatan pertambangannya tidak harus dievaluasi secara tahunan.

Ia menilai, pasal ini bisa menjadi momok dalam tata kelola pertambangan Tanah Air. Sebab, perusahaan tambang yang tidak mampu merencanakan kegiatannya dengan baik, berisiko menciptakan bencana.

“Sekarang saja dengan RKAB tahunan konflik dan kerusakan lingkungannya banyak, apalagi kalau tidak dievaluasi tahunan,” ucap Rere, sapaan lainnya.

Kedua, perihal penambahan frasa anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 54 dan 109, yang membuat anak perusahaan BUMN memiliki kedudukan setara dengan BUMN ihwal privilese.

“Terutama dalam hal perpanjangan (kegiatan produksi tambang),” ucapnya. Menurut dia, adanya penambahan frasa ‘anak perusahaan BUMN’ ini upaya dari pemerintah untuk memperbolehkan pihak swasta yang lain mendapatkan hak keistimewaan serupa dengan BUMN.

Ketiga, perihal kewajiban untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian tambang. Dalam pasal perubahan ini, kegiatan pengolahan dan pemurnian bisa dilakukan oleh badan usaha yang lain.

Ketentuan ini termaktub pada Pasal 56 dan Pasal 111 PP 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. “Tidak harus di pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP),” katanya.

Ia mengungkapkan, pasal ini seolah-olah menunjukkan intensi pemerintah untuk memberikan kelonggaran terhadap pemegang IUP, yang dibebaskan dari tanggungan penyediaan fasilitas pengolahan dan pemurnian.

Pasal terakhir yang berpotensi menciptakan dampak buruk terhadap lingkungan ialah pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan. Perubahan ketentuan yang mengizinkan ormas keagamaan memiliki IUP terdapat di paragraf 3 Pasal 83 A.

Ia menilai, adanya pasal yang menyebutkan ormas keagamaan bisa mendapatkan IUP ini upaya pemerintah untuk menjadikan para ormas agama sebagai bumper.

“Ini ambisi ekstremisme pemerintah, ormas agama ditabrakkan dengan situasi konflik sosial dan kerusakan lingkungan,” ujarnya. Ia menyatakan, pemerintah terkesan menjadikan ormas keagamaan sebagai tameng sehingga menjadi sorotan publik.

Padahal, katanya, ada indikasi pemerintah sedang menyelundupkan pasal-pasal yang nantinya memberikan kemudahan untuk korporasi, investor, dan swasta secara luas.

Pos terkait