MERCUSUAR.CO, Wonosobo – Terletak di Desa Surengede, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Dusun Cawet tidak hanya sekadar sebuah nama. Meskipun terdengar vulgar di telinga, dusun ini menyimpan kisah heroik dan sejarah yang menggugah, terutama dalam konteks perlawanan masyarakat pribumi terhadap penjajahan kolonial Belanda.
Saat mendengar kata cawet, terutama ketika diucapkan di depan khalayak umum. Bagi masyarakat Jawa, kata tersebut merujuk pada pakaian dalam wanita, sehingga sering dianggap tabu dan dihindari dalam percakapan sehari-hari.
Meski demikian, membaca kisah sejarah Dusun Cawet di Kabupaten Wonosobo ini akan mengundang rasa salut, bangga, dan hormat terhadap perjuangan para pendahulu. Terletak di lereng bagian barat Gunung Sindoro, Dusun Cawet menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah dan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat
Bagi warga Wonosobo, nama Dusun Cawet sudah cukup familier. Namun, masih banyak yang bertanya-tanya dan menganggap nama dusun itu begitu menggelitik. Namun, nama dusun itu memang benar adanya. Di balik nama Dusun Cawet, terdapat kisah sejarah yang pantas kita hormati dan apresiasi.
Nama Dusun Cawet tidak serta merta ada karena hal sepele, tetapi terdapat nilai sejarah perjuangan di dalamnya. Konon, sekitar tahun 1800-an, wilayah Desa Surengede menjadi daerah jalur jajahan Kolonial Belanda. Wilayah tersebut sering dilalui para penjajah Belanda, sehingga masyarakat kerap menjadi korban jajahan.
Kisah itu pernah diceritakan Mantan Kepala Desa Surengede, Sidik Sejati. Dia pernah bercerita mengenai asal usul penamaan Dusun Cawet Desa Surengede. Kisah dusunnya berkaitan erat dengan sejarah perjuangan masyarakat mengusir penjajahan Belanda. Kala itu, warga yang notabene petani, kerap dirampas hasil ladangnya.
Tak hanya hasil ladang pertanian, hasil ternak serta harta bendanya juga kerap dirampas penjajah Belanda. Warga pribumi, merasa sangat diinjak-injak dengan sikap arogansi penjajah Belanda. Mereka bukanlah siapa-siapa, namun melakukan intimidasi dan perampasan harta benda milik warga pribumi di tanah Wonosobo.
Kala itu, warga sangat tertindas. Mereka ingin sekali mengusir penjajah Belanda yang semaunya sendiri mengatur dan menguasai daerah itu. Diketuai Simbah Cahyuda, yang merupakan kepala kampung adat, mereka melakukan perlawanan dan pemberontakan kepada penjajah Belanda. Kala itu daerah itu belum memiliki nama.
Konon, Simbah Cahyuda merupakan sesepuh di daerah tersebut memiliki pengikut yang dalam kesehariannya hanya menggunakan pakaian dalam atau cawet. Simbah Cahyuda dan warga pribumi merasa tak terima daerahnya menjadi tempat jajahan Kolonial Belanda.
Warga pribumi tak rela, hasil bumi yang diolah malah tak bisa dinikmati sendiri. Kedatangan Belanda membuat mereka tidak bisa hidup tenang di tanah sendiri. Setelah berpikir panjang, akhirnya Simbah Cahyuda beserta penduduk setempat bertekad untuk membebaskan tanah kelahiran mereka dari penjajah.
Di bawah pimpinan Simbah Cahyuda, meskipun dengan alat seadanya, mereka melawan sekuat tenaga para penjajah Belanda. Dengan usaha yang tidak kenal lelah, akhirnya daerah tersebut berhasil melepaskan diri dari jajahan Belanda. Konon kala melakukan perlawanan, khususnya laki-laki hanya mengenakan pakaian bawah saja dan dada terbuka.
Sebelum berangkat melawan penjajah Belanda, Simbah Cahyuda berpesan, apabila nantinya tanah tersebut terlepas dari belenggu penjajahan dan ramai, maka daerah diberi nama Cawet. Akhirnya kemenangan pun diperoleh Laskas Simbah Cahyuda, hingga membuat pasukan Belanda kocar kacir. Saat itu daerah ini dinamakan Dusun Cawet.