Mercusuar.co, WONOSOBO – Bagian Pelayanan Rutan Kelas IIB Wonosobo bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo menggelar sosialisasi dan skrining penyakit Tuberkulosis (TBC) di Rutan Wonosobo. Langkah ini dilakukan untuk mencegah dan meminimalisir dampak penularan TBC di lingkungan rutan yang saat ini menghadapi kondisi overkapasitas.
Widodo, Kepala Pelayanan Rutan Wonosobo, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut diikuti oleh 134 warga binaan, terdiri dari 133 laki-laki dan 1 perempuan.
“Kami memberikan edukasi mengenai pencegahan, pengobatan, dan dampak penyakit TBC. Selain itu, kami rutin membagikan masker dan memberikan informasi tentang cara mencegah penularan TBC,” ujar Widodo pada Selasa (10/12/2024).
Ia juga mengungkapkan bahwa kondisi rutan saat ini dihuni 134 orang, hampir dua kali lipat dari kapasitas ideal 73 orang.
“Kondisi ini meningkatkan risiko penularan penyakit menular seperti TBC. Karena itu, program ini penting untuk memastikan deteksi dini dan pengobatan bagi warga binaan yang terinfeksi,” tambahnya.
Sri Purwaningsih, Sub Koordinator Pencegahan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Wonosobo, mengungkapkan bahwa lingkungan rutan menjadi salah satu kelompok berisiko tinggi untuk penularan TBC.
“Dengan kondisi satu kamar yang dihuni hingga 35 orang, jika ada satu penderita TBC yang tidak terdeteksi, risiko penularannya sangat tinggi,” jelasnya.
Dalam skrining TBC, seluruh warga binaan dikumpulkan untuk diperiksa, terutama mereka yang mengalami gejala seperti batuk.
“Jika ditemukan gejala, dahak mereka akan diperiksa di laboratorium. Jika positif TBC, maka akan langsung diberikan pengobatan,” ujar Sri.
Menurut data Dinas Kesehatan Wonosobo, pada tahun 2024 terdapat perkiraan 2.415 kasus TBC di kabupaten ini. Hingga saat ini, baru sekitar 1.700 kasus atau 72% yang ditemukan.
“Idealnya, kita perlu mencapai 90% deteksi dari estimasi jumlah kasus. Karena itu, skrining TBC harus dilakukan secara masif, termasuk di komunitas rentan seperti rutan, pondok pesantren, dan asrama mahasiswa,” imbuhnya.
Sri juga menjelaskan bahwa meskipun TBC menular dengan mudah melalui udara, daya tahan tubuh yang baik dapat mencegah seseorang jatuh sakit meskipun terinfeksi. Namun, bagi mereka yang sudah terinfeksi tetapi belum menunjukkan gejala (TBC laten), perlu dilakukan terapi pencegahan agar tidak berkembang menjadi TBC aktif.
“Saat ini, terapi pencegahan lebih mudah. Pasien cukup mengonsumsi obat seminggu sekali selama tiga bulan, dibandingkan sebelumnya yang harus diminum setiap hari selama enam bulan,” ucapnya.
Selain di rutan, upaya sosialisasi dan skrining juga dilakukan di pondok pesantren, sekolah, dan asrama mahasiswa melalui kerja sama lintas sektor.
“Kami berharap masyarakat lebih sadar akan pentingnya deteksi dini dan pengobatan TBC, karena penyakit ini bisa menyerang siapa saja, dari anak-anak hingga lansia,” pungkas Sri.(Gen)