3 Tuntutan KSPI Jateng dan Partai Buruh Saat Demo di DPRD Jateng

IMG 20230313 161749

Mercusuar.co, Semarang – Massa FSPMI KSPI, bersama Partai Buruh dan Persatuan Buruh Grobogan Partai Buruh Jawa Tengah melakukan aksi unjuk rasa (demo), menolak beberapa kebijakan yang merugikan buruh, bertempat di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah, jalan Pahlawan Kota Semarang, Senin (13/3/2023) siang.

Dalam orasinya, massa aksi menuntut;
1. Menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang Undang Cipta Kerja
2. Segera Sahkan UU Perlindungan Pekerja  Rumah Tangga
3. Audit Forensik Penerimaan Pajak Negara (Copot Dirjen Pajak)

Bacaan Lainnya

Tuntutan aksi tersebut, dikarenakan udah tidak terhitung lagi bagaimana sekarang ini Pemerintah bersama DPR RI acapkali membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat khususnya kaum buruh. Mereka terus menerus melakukan kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi khususnya mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Sejak mulai pertama kali masih berupa RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang kemudian lebih dikenal dengan RUU Cilaka sudah mendapat respon penolakan dari berbagai elemen masyarakat kemudian diubah menjadi RUU cipta kerja, tetap saja ditolak justru penolakan semakin besar oleh rakyat karena isinya yang mendegradasi aturan-aturan yang sudah ada.

Bukannya membatalkan dan mengkaji ulang dengan stakeholder terkait, pemerintah dan DPR terus tutup mata dan telinga terhadap penolakan-penolakan masyarakat dan buruh dan memaksakan untuk mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta kerja menjadi UU Cipta Kerja bernomor 11 tahun 2020.

Tidak berhenti sampai disini, bahkan setelah dilakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan putusan UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam Putusan tersebut, MK memerintahkan untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Namun pemerintah dan DPR dalam rapat paripurna ke-23 masa sidang V tahun 2021-2022, di gedung DPR Senayan tepatnya hari Selasa tanggal 24 Mei 2022 malah mengesahkan Revisi Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang memasukkan istilah omnibus law di dalamnya sebagai jalan pintas untuk melegitimasi UU tersebut dengan tidak melakukan perbaikan di dalamnya.

Penolakan demi penolakan terus saja bergulir hingga pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang mencabut UU No 11 tahun 2020 dan menggantinya dengan Perppu No 2 tahun 2022.

Secercah harapan bahwa Perppu yang dimaksud akan membawa hasil yang lebih baik, namun ternyata isi Perppu setali tiga uang dengan UU Cipta Kerja hanya berganti sampul saja dengan copy paste di dalamnya.

Dan saat ini Perppu tersebut didorong oleh pemerintah agar disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna hari ini di DPR. Melihat singkatnya pembentukan dan pengesahan UU Cipta Kerja ini menandakan ketidakberpihakan pemerintah dan DPR terhadap rakyat yang memilihnya. Dibandingkan dengan RUU PPRT yang sudah 19 tahun belum juga disahkan melengkapi ketidakberpihakan mereka terhadap buruh dan rakyat kecil.

Seperti yang diketahui bahwa penghambat investasi yang utama bukanlah di masalah ketenagakerjaan melainkan di birokrasi dan korupsi yang melanda negeri ini. Sebagai contoh lihatlah kondisi di Kemenkeu saat ini mulai dari adanya pejabat yang gemar pamer harta hingga dilaporkan terdapat transaksi gelap hingga mencapai 300 triliun. 

Di saat upah buruh murah akibat kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja dan para petani yang kehidupannya semakin sulit akibat impor beras, justru pejabat negara terkesan hidup berfoya-foya.
(Aulia Hakim SH)

Pos terkait