MERCUSUAR, Jakarta – Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat wisata halal dan spiritual global. Populasi Muslim yang besar, kekayaan tradisi, keragaman budaya, serta nilai-nilai religius masyarakatnya menjadikan Indonesia menggenggam modal kuat untuk memimpin sektor ini di tingkat global.
Dalam beberapa tahun terakhir, wisata halal berkembang menjadi salah satu segmen pariwisata dengan pertumbuhan paling pesat di dunia. Berdasarkan laporan Global Muslim Travel Index (GMTI) 2025, jumlah wisatawan Muslim internasional mencapai sekitar 176 juta pada tahun 2024 dan diproyeksikan terus meningkat. Nilai pasar global wisata Muslim diperkirakan mencapai lebih dari 230 miliar dolar AS pada 2030.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan wisata halal dan spiritual. Selain memiliki populasi Muslim terbesar di dunia dan kekayaan budaya yang beragam, Indonesia kini juga memiliki landasan hukum yang lebih kuat menyusul disahkannya rancangan undang-undang (RUU) Kepariwisataan menjadi undang-undang (UU).
UU tersebut turut mempertegas pentingnya penyelenggaraan pariwisata yang menjunjung tinggi norma agama, nilai budaya, serta keberlanjutan lingkungan, yang menjadi fondasi penting bagi tumbuhnya ekosistem wisata halal di Tanah Air.
Sudah barang tentu, momentum hadirnya UU Kepariwisataan baru ini menjadi tonggak dalam memperkuat arah pembangunan destinasi wisata yang berkarakter, beretika, dan berkelanjutan. Melalui prinsip penghormatan terhadap norma agama dan nilai budaya, pariwisata halal dapat dikembangkan secara lebih terarah, tanpa harus memisahkan diri dari kekayaan tradisi dan spiritualitas lokal.
Dengan demikian, konsep halal tidak hanya dipahami sebatas sertifikasi produk atau layanan, tetapi juga sebagai pengalaman wisata yang menyentuh nilai-nilai religius dan kemanusiaan.
Untuk mewujudkan hal itu, peran masyarakat lokal menjadi sangat penting. Pendekatan berbasis komunitas memastikan bahwa warga sekitar destinasi wisata tidak sekadar menjadi penonton, tetapi juga pelaku utama dalam ekosistem pariwisata halal. Mereka dapat berkontribusi sebagai penyedia akomodasi dan kuliner halal, pengrajin produk lokal, hingga pemandu wisata yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius dan kearifan budaya setempat.
Dengan keterlibatan aktif masyarakat, pariwisata halal di Indonesia diharapkan dapat tumbuh sebagai gerakan bersama yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal sekaligus berdaya saing global.
Instrumen soft power
Menurut teori soft power yang diperkenalkan Joseph Nye, kekuatan suatu negara tidak lagi hanya bergantung pada aspek militer dan ekonomi, melainkan juga pada kemampuannya mempengaruhi dunia melalui budaya, nilai, dan institusi.
Dalam konteks ini, wisata halal dan spiritual dapat menjadi instrumen soft power Indonesia di dunia Muslim, yang turut memperkuat citra sebagai negara moderat dan religius yang ramah serta terbuka. Dengan begitu, pariwisata halal diharapkan pula menciptakan jejaring hubungan antarnegara yang halus namun efektif, mempererat kerja sama, dan saling pengertian antarbangsa.