Wonosobo, Mercusuar.co – Toko Warung Srawung di Pasar Induk menawarkan kanvas untuk melukis dan tempat baca buku sekaligus menjual bermacam barang-barang bekas.
Toko kecil bernama Warung Srawung yang baru berdiri dari Agustus 2024 ini terletak di lantai empat Pasar Induk Wonosobo.
Warung Srawung menawarkan pengunjungnya kanvas-kanvas untuk melukis di pasar yang menjadi daya tarik utama tempat ini. Selain itu juga Warung Srawung menyediakan tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu luang.
“Kalau aku yang di nikmati melukisnya, karena quality time dan bisa ngabisin waktu lama,” ujar Astri, salah satu pengunjung Warung Srawung. “Dan tempatnya juga cenderung sepi juga kan, jadi lebih enak,” tambahnya.
Selain keseruan melukis yang tidak ada di tempat lain, Warung Srawung juga menyediakan jajanan tradisional.
“Kalau di Wonosobo sebenarnya jarang banget ada tempat buat melukis, jadi kayaknya menarik kalau disini,” ujar Winda, salah satu pengunjung Warung Srawung.
“Seru sih, selain ngelukis ternyata ada kue-kue tradisional,” lanjutnya.
Kanvas lukis dijual dengan kisaran harga dari 15 ribu sampai 18 ribu rupiah yang sudah meliputi tempat
Banyak hal lain juga dijual di Warung Srawung, seperti buku, kaset dan pakaian lama.
“Jualan dari buku-buku, kaset pita, thrifting. Kalau makanan kita mah biasa, minuman saset, terus buku thrifting,” jelas Kholiq Arif, penjaga toko Warung Srawung.
“Kita ambil (buku) di Jakarta Selatan, Kampoeng Gallery, disitu kan ada pasar-pasar lama, ada buku thrifitng. Kita salah satunya ambil di situ,” lanjut Kholiq.
Kholiq juga menjelaskan barang yang dijajakan memiliki harga yang variatif, namun masih ramah di kantong.
“Kisaran harga (buku), kita mulai dari 50 ribu, terus yang paling mahal sampai 400 lebih.”
“Sandang murah, nggak sampe 200 ribu. Start dari thrifting 15 ribu yang batik, sampai 200 ribu. Ada kaset pita. Kisaran harga dari 50 ribu sampai 80 ribu. Beberapa juga nggak kita jual, koleksi pribadi,” jelasnya.
Warung Srawung buka sepanjang minggu kecuali hari Jumat.
“Hari Jumat, kita jumatan kan mas sebagai laki-laki, itu juga sih pertimbangannya.” “Sabtu-Minggu soalnya kalau anak sekolahan libur ya, momentum juga bagi kami,” kata Kholiq.
Warung Srawung berangkat dari ide dan pengalaman Ridwan Hafif, sebagai pemilik toko akan kesulitannya mencari ruang baca publik.
“Kalo secara konsep sebenarnya lahir dari keresahan saya, saya ini suka baca, mas. Tapi saya susah menemukan ruang baca publik di Wonosobo paling adanya perpusda, kalau pun perpustakaan mandiri aksesnya susah dicari,” jelasnya saat dihubungi wartawan pada Selasa (14/1/2025).
Namun Ridwan memiliki alasan pribadi yang unik tentang tagar “Melukis Di Pasar”.
“Kalo tentang melukis, sebenernya itu juga ide dan hobi saya kalo nongkrong sama pacar saya, mas. biar hemat aja sihh sebenernya. kan kalo ngelukis bisa lama nongkrongnya dan jadi lebih seru”.
Disamping itu, Ridwan tetap berpegang pada harapan untuk mencari ruang baca publik.
“Tapi makin kesini saya pengen menonjolkan tag “Melukis Di Pasar” untuk Warung Srawung, selain karena faktanya membaca belum cukup menarik untuk kebanyakan orang, saya lihat juga kedepannya akan ada bisnis skala besar di Wonosobo yang akan membuat tempat nongkrong bertema perpustakaan.” Ujarnya.
“Jadi kita sebagai warung sederhana yang kecil-kecilan sepertinya lebih aman untuk menonjolkan melukis dulu mas, tanpa menghilangkan harapan menghidupkan ruang baca di wonosobo, kota kecil yang sangat saya banggakan kemanapun dimanapun.
Selain itu, Ridwan menjelaskan latar belakang jargon Warung Srawung yaitu Sesrawungan Adalah Koentjie.
“(Jargon) itu sebenernya intinya dari dibuatnya warung, untuk sesrawungan (berinteraksi) dengan siapapun. Antara saya dengan warung, dengan kawan yang bekerja, tetangga warung, Pasar Induk, Kota Wonosobo, dan semua orang yang berinteraksi dengan Warung Srawung.