Membanggakan! Geocultural Tieng Masuk WBTB 2025

b29ebff0 99ab 4914 b6fb f3902e8e5871

MERCUSUAR, Wonosobo-  Kawasan Geopark Nasional Dieng kembali menorehkan kebanggaan. Setelah dikenal dengan kekayaan alam vulkanik dan keindahan lanskap datarannya yang memukau, kini warisan budaya dari salah satu desanya—Tradisi Ambeng Desa Tieng, Wonosobo—resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia Tahun 2025. Pengakuan ini bukan hanya tentang sebuah ritual kuliner, melainkan tentang bagaimana masyarakat lereng Dieng menjaga keseimbangan antara alam, budaya, dan spiritualitas dalam satu napas kehidupan.
Jejak Tradisi dari Serat Centini hingga Lereng Dieng
Istilah ambeng sudah dikenal sejak abad ke-19 dalam Serat Centini pada masa Paku Buwono IV. Ambeng berarti hidangan nasi bersama lauk yang disajikan pada acara khusus. Di Desa Tieng, tradisi ini sudah hidup sejak masa kolonial Belanda dan terus diwariskan lintas generasi. Dulu, Ambeng disertai pembacaan mantram dan sesaji bunga, namun oleh ulama setempat, Kiai Abdul Wahab, tradisi ini kemudian dimurnikan menjadi lebih Islami. Kini, Ambeng hanya digelar pada peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, hingga Nuzulul Quran di bulan Ramadan.
Filosofi Gunung dan Kehidupan
Tradisi Ambeng sejatinya adalah cermin filosofi pegunungan Dieng. Hidangan ini disusun bertingkat, dimulai dari nampan bambu yang melambangkan alam semesta, di atasnya nasi sebagai simbol gunung dan sumber kehidupan, lalu berbagai lauk yang menggambarkan perjalanan hidup manusia—pahit, manis, hingga mencapai puncak kesejahteraan.
Unsur “gunung” dalam tatanan Ambeng selaras dengan nilai geopark: manusia hidup dalam kesadaran akan bumi yang menopang kehidupannya. Dalam konteks Geopark Nasional Dieng, tradisi Ambeng menjadi ekspresi “geocultural”—wujud hubungan spiritual masyarakat dengan bentang alam karst dan vulkanik Dieng. Filosofi nasi sebagai gunung dan lauk sebagai perjalanan hidup mencerminkan harmoni antara manusia dan geodiversity.
Ambeng sebagai Cermin Konsep Geopark
Konsep geopark tak hanya menyoal batu dan tanah, tetapi juga manusia yang hidup di atasnya. Desa Tieng dengan tradisi Ambeng adalah contoh konkret bagaimana geoheritage melahirkan budaya. Gunung, tanah, dan hasil bumi menjadi bahan dasar Ambeng—bambu untuk nampan saat ini sudah di Ganti dengan bahan lain , daun pisang untuk alas, sayuran dan protein lokal sebagai lauk. Semua bersumber dari lanskap Dieng yang subur.

e5a68794 3c61 4c0f b0d2 c3a89d380576
Dengan demikian, Ambeng adalah manifestasi geoculture: bagaimana masyarakat memaknai alam bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sumber nilai dan spiritualitas. Ketika wisatawan datang ke Dieng untuk melihat kawah, telaga, atau candi, mereka kini juga bisa menikmati sisi lain dari geopark: budaya makan bersama yang menyatukan manusia dengan alamnya.
WBTB 2025: Momentum Kebanggaan dan Tanggung Jawab
Masuknya Ambeng Tieng dalam daftar WBTB 2025 menjadi bukti bahwa Geopark Dieng bukan sekadar lanskap geologi kelas dunia, tapi juga kawasan hidup yang menumbuhkan peradaban. Tradisi ini memperkuat posisi Dieng sebagai Geopark berbasis budaya dan masyarakat—bahwa pelestarian bumi dimulai dari penghormatan terhadap nilai-nilai lokal.
Lebih dari sekadar kuliner, Ambeng adalah narasi ekologi sosial yang menegaskan: budaya dan alam adalah dua sisi dari kearifan lokal Dieng. Saat masyarakat Tieng menata nasi di atas nampan bambu, mereka sejatinya sedang menata harmoni dengan bumi—warisan yang kini diakui dunia sebagai bagian dari kekayaan bangsa.
Dengan pengakuan ini, Geopark Nasional Dieng kembali membuktikan diri sebagai kawasan geoheritage dan geoculture unggulan Indonesia, tempat di mana alam dan tradisi berpadu menjaga keberlanjutan kehidupan.

Pos terkait