MERCUSUAR.CO, Wonosobo – Desa Igirmranak, sebuah desa yang kaya akan sejarah dan budaya, terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Nama desa ini berasal dari bahasa Jawa, di mana “Igir” berarti perbukitan dan “Mranak” adalah nama sebuah pohon besar yang khas, dengan daun-daun hijau lonjong dan tidak terlalu lebar. Pohon Mranak memiliki keistimewaan, yaitu jamur yang tumbuh dari batangnya yang membusuk dapat dikonsumsi dan memiliki rasa yang unik. Hingga kini, satu pohon besar Mranak masih berdiri tegak di tengah desa, dihormati dan tidak berani ditebang oleh warga karena diyakini dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar.
Awal Mula Berdirinya Desa Igirmranak
Daftar isi
Sejarah desa ini dapat ditelusuri kembali ke masa Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengejaran terhadap prajurit-prajurit Pangeran Diponegoro hingga ke Wonosobo dan sekitarnya. Banyak warga yang mengungsi ke tempat-tempat tersembunyi untuk menghindari penangkapan oleh tentara Belanda. Salah satu tempat pengungsian yang dirasa paling aman adalah perbukitan di bawah Gunung Prau, yang membentang antara Kabupaten Pekalongan hingga Kabupaten Kendal. Perbukitan yang rapat ditumbuhi pohon Mranak ini menjadi cikal bakal Desa Igirmranak, yang berarti “bukit yang banyak ditumbuhi pohon Mranak”.
Perkembangan Desa Igirmranak
Menelusuri sejarah Desa Igirmranak memang sulit, namun berdasarkan cerita dan tutur dari sesepuh desa, diyakini bahwa desa ini berdiri sekitar tahun 1825-1830. Pada masa itu, beberapa keluarga yang tidak diketahui namanya mengungsi dan menyelamatkan diri dari kejaran tentara Belanda. Setelah situasi dianggap aman, mereka mendirikan rumah-rumah gubuk dan menetap di sana, beranak pinak hingga desa berkembang seperti sekarang.
Lurah pertama desa ini adalah Markum, yang menjabat dari tahun 1875 hingga 1904, saat desa baru memiliki sekitar 10 kepala keluarga (KK). Penerusnya, Lurah Darus, menjabat dari tahun 1905 hingga 1926, dengan jumlah kepala keluarga mencapai 30 KK. Lurah ketiga, Suto Wijoyo, menjabat hanya dua tahun (1927-1929) dengan 35 KK. Pada masa Karto Dijoyo (1930-1960), yang dikenal sebagai Mbah Glondong, jumlah kepala keluarga meningkat menjadi 60 KK. Puspo Suwarno, yang menjabat dari 1961 hingga 1975, melihat peningkatan jumlah KK menjadi 80. Lurah keenam, Kahad (1976-1979), meningkatkan jumlah KK menjadi 85.
Perubahan signifikan terjadi saat Harjo Sutrisno menjabat sebagai kepala desa ketujuh dari 1980 hingga 1989, dengan jumlah kepala keluarga mencapai 90 KK. Dulkohar, kepala desa kedelapan (1990-2006), menyaksikan peningkatan jumlah kepala keluarga menjadi 150. Kepala desa saat ini, Joko Tri Sadono, yang mulai menjabat pada tahun 2007, memimpin desa dengan populasi yang terus berkembang.
Pertumbuhan Penduduk dan Tantangan Masa Depan
Jumlah penduduk Desa Igirmranak terus meningkat. Pada tahun 2015, desa ini memiliki 720 jiwa. Pertumbuhan populasi yang cepat ini memerlukan perencanaan yang matang untuk mengatasi daya dukung dan daya tampung desa. Tantangan ini menjadi fokus utama bagi pemerintah desa dan masyarakat, yang berusaha menjaga keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan kelestarian lingkungan.
Warisan dan Budaya
Desa Igirmranak tidak hanya kaya akan sejarah, tetapi juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Pohon Mranak yang dihormati menjadi simbol kekayaan alam dan warisan budaya yang perlu dijaga. Kisah perjuangan para leluhur yang mencari perlindungan dari penjajah Belanda menjadi inspirasi bagi generasi muda desa ini.
Dengan warisan sejarah yang kaya dan pertumbuhan yang terus berlanjut, Desa Igirmranak berdiri sebagai contoh bagaimana sejarah dan budaya dapat membentuk identitas sebuah komunitas. Upaya pelestarian budaya dan perencanaan pembangunan yang berkelanjutan menjadi kunci bagi masa depan desa ini, memastikan bahwa warisan leluhur tetap hidup dan diteruskan kepada generasi mendatang.