Peran Santri dalam Upaya Konservasi Lingkungan Hidup di Kawasan Dieng

1eca207a b443 40bf 92ee bc56bfb85128

Oleh: Tafrihan, Ketua Lakpesdam MWC NU Kec Kejajar

Artikel khusus memperingati Hari Santri

Dataran Tinggi Dieng, sebuah kawasan yang meliputi enam kabupaten—Wonosobo, Banjarnegara, Temanggung, Kendal, Batang, dan Pekalongan—dikenal dengan keindahan alamnya yang memesona. Namun, di balik pesona tersebut, kawasan ini kini menghadapi krisis lingkungan yang mengkhawatirkan. Kerusakan lingkungan yang parah ditandai dengan intensitas longsor dan banjir yang tinggi dan kekurangan air saat musim kemarau di banyak lokasi.
Salah satu muara dari kerusakan ini adalah Bendungan Jenderal Soedirman di Banjarnegara, tempat turbin penggerak utama penyedia listrik Jawa-Bali beroperasi. Tumpukan sedimentasi yang masif dari erosi lahan hulu—Diduga mencapai jutaan meter kubik per tahun—mengancam operasional sarana vital nasional ini. Kondisi terburuk yang bisa terjadi adalah ancaman terhadap suplai listrik Jawa-Bali.
Silent Spring Dieng: Ancaman Kimia dan Degradasi Lahan
Indikator kerusakan tidak hanya terlihat dari bencana hidrometeorologi. Kondisi kesuburan dan produktivitas tanah di Dieng juga merosot drastis dibandingkan era 1980-an. Kualitas dan kuantitas air permukaan maupun air tanah pun menurun, sangat mungkin akibat hilangnya fungsi resapan air dan penggunaan pestisida yang sangat masif untuk budidaya sayuran di dataran tinggi.
Fenomena ini mengingatkan pada peringatan yang pernah disampaikan oleh ilmuwan perempuan, Rachel Carson, melalui bukunya yang monumental pada tahun 1962, Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi). Buku tersebut menggambarkan dunia tanpa kicau burung—simbol kehidupan yang hancur akibat racun kimia buatan manusia, terutama DDT. Carson menggabungkan sains dan sastra, mengguncang kesadaran masyarakat global terhadap ancaman tersembunyi pestisida sintetis. Silent Spring tak hanya memicu kemarahan industri kimia, tetapi juga membangkitkan gelombang kesadaran ekologis yang melahirkan gerakan lingkungan hidup modern.
Di Dieng, kita menghadapi Silent Spring versi lokal: tanah yang sunyi dari kesuburan alaminya, air yang sunyi dari kejernihannya, dan masa depan yang sunyi dari jaminan sumber daya alam yang berkelanjutan, kecuali jika ada aksi nyata. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: Apa peran santri dalam upaya konservasi Dieng?

Santri sebagai Agen Perubahan Ekologis
Santri, sebagai bagian dari generasi muda yang terdidik dan memiliki basis moral-agama yang kuat, adalah investasi jangka panjang dalam upaya konservasi. Mereka adalah calon orang tua dan pemimpin di masa depan. Kesadaran terhadap tanggung jawab lingkungan harus dimulai saat ini, mengingat hasil investasi konservasi bersifat jangka panjang.
Beberapa tahun lalu, inisiatif bersama tim dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mencoba membuat konsep Muatan Lokal (Mulok) pendidikan lingkungan untuk Madrasah Diniyah (Madin) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) di kecamatan Kejajar . Selain itu, bersama Tim Kerja Pemulihan Dieng, kami pernah menyusun buku khutbah Jumat yang kontennya spesifik membahas pelestarian lingkungan. Dari upaya-upaya ini, diharapkan santri memahami bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ajaran agama (fardu kifayah).
Aksi Nyata Santri di Pesantren dan Masyarakat
Peran santri dapat diwujudkan melalui beberapa langkah konkret, baik di lingkungan pesantren maupun di tengah masyarakat:
santri perlu kembali mengkaji kitab kitab klasik yang menjadi acuan sektor pertanian misalnya Kitab Al-Filaha—masterpiece pertanian Islam. Kitab ini, yang membahas pemilihan dan pengolahan tanah, teknik budidaya non-destruktif, hingga pengelolaan kebun yang efektif, menawarkan panduan pertanian berkelanjutan yang berbasis ilmu dan kearifan masa lalu. Dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pertanian tradisional, santri dapat menjadi pemimpin sejati dalam menyelamatkan Dieng melaui sektor pertanian ramah lingkungan
Pengelolaan Sumber Daya Air: Santri harus menjadi garda terdepan dalam melestarikan mata air. Upaya konservasi mata air adalah untuk memastikan anak cucu kelak masih bisa berwudhu, mandi, dan memenuhi kebutuhan air harian mereka, termasuk kebutuhan vital pesantren.
Pesantren Zero Waste dan Inovasi Limbah: Setiap pesantren berpotensi menghasilkan sampah. Santri dapat mengelola sampah dengan membentuk Bank Sampah, melakukan daur ulang, dan memastikan pesantren mencapai status “zero waste.” Lebih jauh lagi, santri dapat diajak memanfaatkan teknologi seperti pembangunan digester untuk mengubah limbah toilet menjadi biogas, menjadikannya sumber energi terbarukan dan menunjukkan bahwa limbah pun dapat bernilai.
Dakwah Konservasi dan Perubahan Pola Pikir: Ini adalah peran krusial santri. Santri harus menunjukkan peran dalam mengubah pola pikir petani dan masyarakat di sekitar pesantren dan daerah asal mereka. Caranya bisa melalui penyadaran warga, pengajian yang fokus pada Fikih Lingkungan (Fikih Bi’ah), Fikih Pengelolaan Sampah, dan yang paling strategis adalah mengisi mimbar-mimbar Khutbah Jumat dengan Dakwah Konservasi. Pendekatan agama seringkali lebih efektif menjangkau hati masyarakat agraris.
Gerakan Santri Selamatkan Bumi (GSSB): GSSB dapat diwujudkan melalui aksi langsung, misalnya penanaman tanaman keras di sekitar mata air dan area rawan erosi. Santri dapat didorong untuk menjadi “Bapak Asuh Pohon,” sebuah komitmen untuk memastikan pohon yang ditanam tumbuh baik dan memberi manfaat bagi kehidupan.
Kerusakan Dieng adalah masalah bersama yang membutuhkan solusi dari berbagai sektor. Santri, dengan kekuatan spiritualitas dan potensi intelektualnya, tidak hanya menjadi penonton, melainkan aktor kunci yang menghubungkan tradisi keilmuan agama dengan tantangan lingkungan modern. Hanya dengan kesadaran dan tindakan nyata para santri hari ini, harapan akan Dieng yang lestari—dengan tanah yang subur, air yang melimpah, dan bebas dari ancaman longsor—dapat terwujud, demi memastikan masa depan cerah bagi Jawa Tengah.

Pos terkait