MK Tolak Permohonan Perangkat Desa Jadi Pengurus Parpol

MK TOlak Gugatan Undang Undang Desa

MERCUSUAR.CO, JakartaMahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atas pasal yang melarang kepala desa sampai perangkat desa jadi pengurus partai politik (parpol). Putusan ini menegaskan kalau aparatur pemerintahan desa harus netral dari kepentingan partai politik tertentu.

” Amar putusan, menolak permohonan Pemohon buat semuanya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan atas perkara Nomor 76/ PUU- XXI/ 2023 itu di ruang persidangan MK, Jakarta, Rabu( 30/ 8/ 2023).

Pemohon uji materi ini adalah Mahmudi, seorang perangkat desa. Ia menguji konstitusionalitas Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, dan Pasal 64 huruf h Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Ketiga pasal tersebut pada intinya melarang kepala desa, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa jadi pengurus parpol.

Mahmudi mendalilkan, hak konstitusionalnya yang dijamin UUD 1945 telah dilanggar dengan adanya tiga pasal dalam UU Desa itu. Sebab, dirinya tidak dapat memperoleh pendidikan politik dari partai politik dan memperjuangkan haknya secara kolektif lewat partai politik.

MK menyatakan, permohonan Mahmudi itu tidak beralasan menurut hukum. Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat berkata, selaku konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan perangkat desa selaku pembantu kepala desa, sudah seharusnya dilarang jadi pengurus parpol. Keterlibatan perangkat desa dalam kepengurusan parpol akan memunculkan permasalahan dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan desa.

” Besar kemungkinan terjadi keberpihakan dari perangkat desa terhadap partai politik yang dinaunginya, kemudian bisa dimanifestasikan dalam pembuatan kebijakan serta pemakaian anggaran desa,” kata Arief.

Lebih lanjut, Arief berkata kalau dalam melaksanakan pemerintahan desa diperlukan pemangku jabatan yang netral dan bebas dari pengaruh kepentingan politik supaya dalam melakukan tugas dan kewenangannya senantiasa memusatkan perhatian kepada pelayanan publik demi kepentingan warga desa. Hal demikian tidak bisa diartikan sebagai wujud penghilangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah partai politik.

Pembatasan tersebut, kata ia, juga tidak bersifat mutlak. Baik kepala desa, perangkat desa maupun anggota badan permusyawaratan desa masih bisa memakai hak politiknya buat membagikan suaranya dalam pemilu.

Dari sisi asas hukum, lanjut Arief, UU Desa merupakan lex specialis sedangkan UU Partai Politik merupakan lex generalis. Sebab itu, syarat yang bersifat khusus mengenyampingkan syarat yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generalis). Dengan demikian, larangan untuk aparatur pemerintahan desa jadi pengurus parpol bukan lah bentuk diskriminasi.

MERCUSUAR.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atas pasal yang melarang kepala desa sampai perangkat desa jadi pengurus partai politik (parpol). Putusan ini menegaskan kalau aparatur pemerintahan desa harus netral dari kepentingan partai politik tertentu.

” Amar putusan, menolak permohonan Pemohon buat semuanya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan atas perkara Nomor 76/ PUU- XXI/ 2023 itu di ruang persidangan MK, Jakarta, Rabu (30/ 8/ 2023).

Pemohon uji materi ini adalah Mahmudi, seorang perangkat desa. Ia menguji konstitusionalitas Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, dan Pasal 64 huruf h Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Ketiga pasal tersebut pada intinya melarang kepala desa, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa jadi pengurus parpol.

Mahmudi mendalilkan, hak konstitusionalnya yang dijamin UUD 1945 telah dilanggar dengan adanya tiga pasal dalam UU Desa itu. Sebab, dirinya tidak dapat memperoleh pendidikan politik dari partai politik dan memperjuangkan haknya secara kolektif lewat partai politik.

MK menyatakan, permohonan Mahmudi itu tidak beralasan menurut hukum. Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat berkata, selaku konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan perangkat desa selaku pembantu kepala desa, sudah seharusnya dilarang jadi pengurus parpol. Keterlibatan perangkat desa dalam kepengurusan parpol akan memunculkan permasalahan dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan desa.

” Besar kemungkinan terjadi keberpihakan dari perangkat desa terhadap partai politik yang dinaunginya, kemudian bisa dimanifestasikan dalam pembuatan kebijakan serta pemakaian anggaran desa,” kata Arief.

Lebih lanjut, Arief berkata kalau dalam melaksanakan pemerintahan desa diperlukan pemangku jabatan yang netral dan bebas dari pengaruh kepentingan politik supaya dalam melakukan tugas dan kewenangannya senantiasa memusatkan perhatian kepada pelayanan publik demi kepentingan warga desa. Hal demikian tidak bisa diartikan sebagai wujud penghilangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah partai politik.

Pembatasan tersebut, kata ia, juga tidak bersifat mutlak. Baik kepala desa, perangkat desa maupun anggota badan permusyawaratan desa masih bisa memakai hak politiknya buat membagikan suaranya dalam pemilu.

Dari sisi asas hukum, lanjut Arief, UU Desa merupakan lex specialis sedangkan UU Partai Politik merupakan lex generalis. Sebab itu, syarat yang bersifat khusus mengenyampingkan syarat yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generalis). Dengan demikian, larangan untuk aparatur pemerintahan desa jadi pengurus parpol bukan lah bentuk diskriminasi.

Pos terkait