Lebaran, Silaturrahim, dan Kesalehan Sosial

images 7

Mercusuar.co, Semarang – Senin (02/05/2022), disepakati sebagai 1 Syawal 1443 H. Di Idul Fitri 1443 H ini, seluruh bangsa Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan merayakannya dengan sukacita.

Idul Fitri merupakan hari kemenangan setelah melakukan “jihad akbar” memerangi hawa nafsu sendiri dengan berpuasa Ramadhan satu bulan.

Bacaan Lainnya

Demikianlah Rasulullah SAW memberi pencerahan kepada para Sahabat, yang memenangi perang badar, di mana pasukan muslim 1 orang melawan 3 orang, dan Allah melimpahi kemenangan.

Sudah barang tentu para Sahabat, penasaran dan bertanya kepada beliau. Jika kami berperang 1 melawan 3, dan kita memenanginya, Rasul katakan sebagai perang kecil (jihad al-ashghar) lalu apa itu perang besar wahai Rasulullah? “Jihad al-akbar huwa jihadu n-nafsi” artinya “perang besar adalah memerangi hawa nafsu”.

Ilustrasi Rasulullah SAW tersebut, sungguh sangat mencerdaskan, karena di dalam kenyataannya, memang demikian. Memerangi musuh itu relative kecil dan mudah, karena musuh itu tampak dan kasat nyata. Sementara memerangi nafsu (diri)-nya sendiri, itu tidak nampak.

Karena itu pula, banyak orang-orang yang secara keilmuan formal lebih dari cukup, jabatan struktural dan sosial mentereng, dan harta kekayaannya berlimpah, namun tidak mampu mengalahkan ego dan nafsunya sendiri.

Akibatnya, ia kehilangan self-control dan terseret oleh nafsunya sendiri. Dengan kekuasaannya, ia mengira dapat mengamankan dirinya, dan juga mengontrol posisi dan bahkan dengan sewenang-wenang ia hantam temannya, termasuk yang pernah berjasa menolong dirinya.

Akan tetapi ia lupa, bahwa hukum alam (sunnatullah atau natural law) atau masyarakat menyebut “hukum karma” akan membalasnya sendiri.

Soal kapan waktunya, tentu Allah yang menentukannya. Apalagi doa orang yang terdholimi mustajab.

Ibadah puasa merupakan momentum untuk mensucikan dan menghapus segala macam dosa selama sebelas bulan. Karena itu, disebut dengan lebaran. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan lebaran adalah hari raya Idul Fitri.

Ada yang menyebut, empat bahasa daerah yang disebut menjadi asal kata Lebaran, yaitu bahasa Jawa “lebar” (selesai), bahasa Sunda “lebar” (melimpah), bahasa Betawi “lebar” (luas), dan bahasa Madura “lober” (tuntas). Jika dalam arti Jawa, artinya “selesai”, karena dengan puasa maka segala yang mengotori jiwa telah selesai dibersihkan. Jika dikaitkan (dimunasabahkan) dengan tradisi mudik dan silaturrahim, ada korelasi yang signifikan.

Dalam perubahan budaya silaturrahim, ada pergeseran sangat signifikan, bersamaan dengan perkembangan kemajuan teknologi komunikasi dan media sosial.

Pada masa saya kecil, setelah usai shalat Idul Fitri, ada “semacam kewajiban kultural” sebagai
1). Anak-anak dalam lingkungan keluarga wajib sowan ke kerabat yang lebih sepuh;
2). Anak-anak muda sowan dan silaturrahim kepada para sesepuh, untuk memohon maaf atas semua kekhilafan dan kesalahan;
3). Sebagai murid dan/atau santri “wajib” sowan bersilaturrahim kepada para guru untuk memohon maaf dan memohon doa kepada guru dan para Kyai yang telah membimbingnya untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi masa depannya.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menghendaki diluaskan jalan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah silaturrahim” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Di sinilah makna penting mudik dan lebaran di kampung halaman. Dan hakikat dari silaturrahim itu adalah menghapus dosa dan kesalahan sosial dengan sesama.

Sehubungan dengan teknologi komunikasi yang berbasis online, silaturrahim secara offline menjadi sangat berkurang. Karena tergantikan dengan kiriman what-apps, Instagram, twitter, dan lain sebagainya.

Implikasi ikutannya, silaturrahim yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai edukasi dan penanaman karakteristik dan akhlak yang mulia, tata krama dan sekaligus penanaman kasih sayang, antara yang tua kepada yang muda, dan rasa hormat yang muda kepada yang tua, berjalan tidak maksimal.

Kalau pada masa saya kecil, anak-anak diajarkan, berjalan dengan membungkukkan badan ketika ada orang tua sedang menerima tamu, atau bahkan diajarkan melewati pintu lain sebagai alternatif, agar tidak “mengganggu” kenyamanan tamu.

Era digitalisasi memang tidak bisa dihindari, namun cara memanfaatkan media sosial bukan berarti tidak bisa digunakan untuk menanamkan nilai-nilai silaturrahim dan pedoman berkomunikasi yang santun, beradab, dan bertata krama, agar era digitalisasi dan online, tetap bisa dimaksimalkan dalam menjalin silaturrahim dan mewujudkan kesalehan sosial.

Rasulullah SAW mengajarkan, “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka bertuturkatalah yang baik, atau supaya diam (jika tidak bisa bertutur kata yang baik), barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Inilah makna kesalehan sosial yang paling sederhana namun sangat penting dalam kehidupan sehari-hari kita.

Semoga di lebaran Idul Fitri 1443 H ini, kita tergolong hamba Allah yang Kembali kepada fitrah, berbahagia, dan amal ibadah kita diterima oleh Allah. Mohon maaf lahir dan batin, dan sepanjang tahun kita dalam kebaikan dan keberkahan dari Allah. Allah a’lam bi sh-shawab.(dj)
 
  
[1] Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo, Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Rumah Sakit Islam-Sultan Agung (RSI-SA) Semarang, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat dan Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat.(dj)

Pos terkait