KPAI: Prostitusi Anak 67 Persen Siswa Aktif

prostitusi anak

MERCUSUAR.CO, Jakarta – Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto memaparkan data mengejutkan dari pengawasan kasus eksploitasi anak periode Januari sampai April. KPAI menemukan 35 kasus eksploitasi anak jumlah korban 234 korban yang masih berusia anak sekolah.

Susanto menegaskan temuan itu menjadi perhatian serius. KPAI ingin memastikan komitmen semua pihak kementerian terkait, pemda dan pihak-pihak terkait dan meminta korporasi yang memiliki peran besar seperti hotel dinilai paling rentan dalam situasi ini.

‘’Mari bersama-sama masyarakat dan orang tua agar memastikan anak-anak kita terpantau dengan baik, dan tentu terjamin keselamatannya dalam kerentanan kasus eksploitasi baik seksual maupun ekonomi. Pada masa pandemi ini kelekatan anak-anak kita dengan dunia digital sangat tinggi, berdasarkan survei KPAI 2020, 42 persen di luar belajar anak intensif menggunakan medsos,’’ katanya.

Susantio mengatakan 60 persen kasus yang terungkap menggunakan media sosial. ‘’Tentu situasi ini membutuhkan komitmen penyedia media platform agar kedepan memberikan proteksi yang intensif bagi anak-anak kita agar tidak menjadi korban’’ kata Ketua KPAI, dalam keterangan pers di laman remi KPAI .

Anggota KPAI, Ai Maryati Solihah memaparkan sejak Januari sampai April 2021, angka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi melalui prostitusi pada anak belum menunjukkan penurunan. Dari 35 kasus yang dimonitor KPAI, 83 persen merupakan kasus prostitusi, 11 persen eksploitasi ekonomi dan 6 persen perdagangan anak. Dari kasus-kasus tersebut jumlah korban mencapai 234 anak.

Selain itu kasus pekerja anak di pabrik juga terlaporkan ke KPAI, hingga penjualan bayi. Sebut saja beberapa kasus yang mewarnai pemberitaan dan dalam pengawasan KPAI tahun ini. Kasus di Mojokerto anak-anak di bawah umur dijual melalui modus membuka sewa rumah kos harian, dibantu oleh reseller di bawah umur.

Lalu kasus prostitusi online karena adanya laporan dari masyarakat terkait kegiatan prostitusi di salah satu hotel di Pontianak, terdapat 41 anak di bawah umur. Polda Metro Jaya juga mengungkap Hotel Alona dijadikan sebagai tempat praktik prostitusi. Modusnya adalah menawarkan anak di bawah umur di media sosial.

Kasus di Tebet Jakarta Selatan, kata Maryati, pelaku menawarkan layanan Booking Out (BO) ke lelaki hidung belang dengan menggunakan aplikasi media social dan ditampung di sebuah Hotel. Terdapat 15 orang yang diamankan yang terdiri dari joki, pelanggan, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang melibatkan anak.

Usia Rentan

Yang mengejutkan, kata Maryati, terungkap profil anak korban prostitusi disebutkan paling rendah adalah 12 tahun sampai 17 tahun 98 persen, dan sisanya di bawah umur itu artinya di bawah 18 tahun. Sedangkan eksploitasi ekonomi mereka sejak usia 16 sampai 17 tahun, dan perdagangan anak merupakan bayi.

Data ini , kata Maryati, menjadi warning pada peran orang tua bahwa usia rentan anak masuk dan terlibat dalam jaringan prostitusi bukan lagi usia remaja akhir jelang 18 tahun, melainkan fase remaja awal, dengan kapasitas siswa Sekolah Dasar.

Dari sisi status korban, KPAI menemukan persentase status korban eksploitasi dan pekerja anak adalah 67 persen tercatat sebagai siswa aktif bersekolah dan 33  persen mereka putus sekolah. KPAI menekankan kepada Kemendikbud untuk mendorong Dinas Pendidikan Provinsi hingga Kota dan Kabupaten untuk proaktif menjamin tetap terpenuhinya pendidikan korban.

Data ini menunjukkan pintu kontrol dan pengawasan pendidikan harus ditingkatkan, baik pencegahan melalui edukasi kespro, internet sehat, kuratif, penjangkauan maupun perindungan lokus-lokus penanganan perlindungan anak serta bekerja sama dengan orang tua.

Maryati mengatakan dari sisi medium yang digunakan, 60  persen menggunakan jejaring media sosial dan 40 persen secara konvensional didatangkan, diajak dan direkrut secara fisik. Dalam aksinya, pelaku (mucikari) memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim, di antaranya memanipulasi usia, dan open booking (istilah prostitusi online).

Seluruhnya difasilitasi dan berinteraksi menggunakan transaksi elektronik dan aplikasi media social. Data ini secara efektif memudahkan proses rekruitmen hingga eksekusi yang dilakukan jaringan dalam menyasar anak-anak di bawah umur.

Dalam konteks penegakkan hukum KPAI mendorong kepolisian dan unit cyber untuk menindak maraknya cyber crime pada anak, deteksi dini operasi, tindak lanjut dan proses hukum. Kemudian menggunakan aturan perundangan sesuai aturan yang berlaku.

Lebih detail, Maryati mengungkapkan medium online yang paling sering digunakan pelaku aplikasi Michat 41 persen, Whatsapp 21 persen, Facebook 17 persen, dan tidak diketahui 17 persen. Terkait Michat sebagai aplikasi terbanyak disalahgunakan, pemerintah diharapkan menaruh perhatian serius dalam mengevaluasi.

KPAI mendorong peran Kemkominfo untuk proaktif pada penyedia aplikasi agar mempersulit penyalahgunaan, dan menindak untuk tidak segan men-takedown serta mencabut izin beroperasi di Indonesia.

Lalu, lokasi kejadian paling sering digunakan di hotel sebanyak 41 persen dan 23 persen apartemen, indekos 18 persen dan wisma 18  persen. Selanjutnya munculnya hotel secara virtual menyediakan bisnis perhotelan namun sering kali digunakan untuk kegiatan prostitusi, bahkan dijadikan penampuangan dan prostitusi terhadap anak.

Untuk itu KPAI meminta Kementerian Pariwisata dan keratif menindak, termasuk mencabut izin usaha serta diproses secara hukum. Dalam pelibatan Apartemen baik broker ataupun penyewa yang memberikan kemudahan pada pelaku untuk menjadikan tempat prostitusi pada anak, KPAI terus mendorong Kemenpupera dan Pemerintah Daerah berkomitmen, menindak tegas dan memberikan sanksi.

Pos terkait