Mercusuar.co, WONOSOBO – Kopi Bowongso, yang ditanam di Desa Bowongso, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, awalnya merupakan bagian dari upaya konservasi lingkungan. Namun, seiring waktu, kopi ini berkembang menjadi komoditas bernilai ekonomis yang menopang perekonomian warga setempat.
Menurut Sriono Edi Subekti, perwakilan dari Kelompok Tani Bina Sejahtera Bowongso, penanaman kopi di wilayah tersebut dimulai pada 2010 sebagai langkah konservasi untuk menjaga ekosistem hutan dan sumber mata air.
“Awalnya, kami hanya fokus pada pelestarian lingkungan. Kami tidak pernah membayangkan kopi ini nantinya akan memberikan nilai ekonomi yang besar,” ujar Eed sapaanya.
Kelompok tani ini memilih menanam kopi di lahan milik warga dan tidak menyentuh kawasan hutan lindung meskipun ada tawaran dari pihak lain.
“Kami ingin menjaga hutan tetap sebagai hutan. Sekecil apa pun aktivitas manusia di hutan, dampaknya pasti ada. Karena itu, kami tidak mau merusak keseimbangan alam,” tambahnya.
Dalam setahun, produksi kopi arabika Bowongso mencapai 3-4 ton. Meski wilayah ini memiliki tantangan cuaca, khususnya intensitas cahaya matahari yang terbatas, kelompok tani tetap konsisten menggunakan metode washed process (wos process) untuk mengolah kopi. Proses ini dianggap paling sesuai dengan kondisi geografis Bowongso yang berada di ketinggian 1.450 mdpl.
“Kami memulai panen pertama pada 2013 dan mulai belajar memproses kopi dengan benar. Baru pada 2015, kami memasarkan kopi ini dengan kemasan yang dikenal saat ini,” jelasnya.
Pemasaran kopi Bowongso lebih fokus pada segmen rumah tangga daripada pasar besar seperti kedai kopi. Menurut EED, pasar rumah tangga menawarkan potensi yang stabil serta memberikan ruang untuk edukasi langsung kepada konsumen.
“Kami percaya bahwa konsumsi lokal harus diutamakan. Produk lokal seperti kopi Bowongso ini memiliki kualitas tinggi, sehingga masyarakat setempat juga berhak menikmatinya,” ujarnya.
Proses produksi kopi Bowongso melibatkan tahapan panjang yang diawali dari pemetikan selektif hingga resting selama dua bulan. Kelompok tani juga lebih memilih menyemai bibit kopi sendiri untuk menjaga kualitas tanaman.
“Kami menyemai bibit dari kebun kami sendiri karena kami sudah memahami karakter tanaman tersebut. Selain itu, cara ini juga lebih efisien dan sesuai dengan kondisi lingkungan,” tambah Eed.
Selain fokus pada kopi, Kelompok Tani Bina Sejahtera Bowongso juga aktif melakukan kegiatan konservasi, seperti menanam pohon beringin, aren, dan jenis lainnya untuk menjaga kelestarian alam.
“Kami sadar, ancaman perubahan iklim dan kenaikan suhu bisa memengaruhi area penanaman kopi di masa depan. Karena itu, kami berusaha menjaga hutan dan menciptakan kawasan hijau baru,” pungkasnya.
Dengan upaya pelestarian lingkungan dan pengembangan produk kopi, Bowongso kini dikenal sebagai salah satu penghasil kopi arabika berkualitas di Wonosobo. Produk ini tidak hanya menjadi simbol keberhasilan konservasi, tetapi juga menjadi pilar ekonomi bagi masyarakat setempat.(Gen)