MERCUSUAR, SRAGEN- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan di Kabupaten Sragen menuai kritik tajam.
Distribusi program ini dinilai amburadul dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Hal ini terungkap dalam rapat dengar pendapat antara Komisi IV DPRD Sragen dengan perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdik) serta Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sragen.
Ketua Komisi IV DPRD Sragen Sugiyamto tak habis pikir dengan kondisi di lapangan. Menurutnya, pendataan dan distribusi program MBG kacau balau.
“Amburadul karena dari dinas sendiri tidak tahu,” ungkap Sugiyamto dengan nada geram.
Dia menyoroti minimnya koordinasi antara pihak pelaksana dengan instansi terkait.
Bahkan, dia menyebut bahwa dinkes dan disdik sama sekali tidak mengetahui siapa saja pihak yang mengelola dapur suplai makanan untuk program tersebut.
“Data Dapur SPPG aja nggak tahu,” cetusnya.
Kekacauan ini juga dirasakan hingga tingkat wilayah. Koordinator wilayah bahkan hanya mengetahui sekolah mana saja yang mendapatkan program MBG setelah melihat unggahan status WhatsApp dari para kepala sekolah.
“Semestinya ada koordinasi dulu dengan dinas pendidikan, titik mana yang menerima. Biar dinas tahu mana sekolah yang sudah dapat, mana yang belum,” jelas Sugiyamto.
Ironisnya, beberapa sekolah yang sudah menerima program ini tidak melapor kepada dinas pendidikan, sehingga data menjadi tidak akurat.
Sugiyamto menyayangkan sikap pihak pelaksana yang tidak melakukan “kulonuwun” (permisi,red) secara formal kepada Disdik, menyebabkan pendataan menjadi rumit dan tidak terperinci.
“Istilahnya orang Jawa ya mbok kulonuwun biar terdata secara detail,” ujarnya.
Selain masalah data, Komisi IV juga mencium gelagat tidak beres dalam sistem distribusi. Sugiyamto menduga ada aroma bisnis di balik program ini.
“Ini kan jadi bisnis pengelola dapur agar dapat sekolah yang gampang dan radiusnya dekat, jadi untungnya lumayan,” tudingnya.
Kondisi ini berimbas pada ketidakmerataan sasaran. Sekolah-sekolah di pelosok, seperti di Desa Gilirejo, justru belum mendapatkan program MBG.
Padahal, menurut Sugiyamto, seharusnya sekolah-sekolah di wilayah terpencil menjadi prioritas utama.
“Harusnya secara materi sasaran yang dikasih harusnya yang sekolah di pelosok dulu,” tegasnya.
Kekacauan ini juga menciptakan masalah baru di masyarakat.
Sugiyamto mengungkapkan, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti keracunan makanan, pihak yang pertama kali dipanggil adalah dinas pendidikan dan korwil, padahal mereka tidak memiliki data.
Akibatnya, orang tua murid menuding sekolah dan guru yang harus bertanggung jawab, meskipun dari instansi pendidikan sendiri tidak memiliki data program tersebut.
“Masalahnya, tidak kulonuwun ini kalau ada masalah, misalnya keracunan, yang dipanggil dinas pendidikan, korwil, dan sebagainya,” imbuhnya.
Rapat tersebut berakhir tanpa solusi konkret. Komisi IV berharap ada perbaikan sistem pendataan dan koordinasi agar program MBG di Sragen bisa berjalan adil dan transparan, tanpa adanya dugaan kepentingan bisnis di dalamnya.





