Diskusi sengit di Forum Evaluasi Ekonomi Rembang muncul akibat kesalahan Bupati Hafidz dalam memahami data pengangguran.
REMBANG, MERCUSUAR.CO – Rembang, 23 Oktober 2024 – Kesalahan Bupati Rembang, Abdul Hafidz, dalam membaca data pengangguran telah memicu diskusi hangat di kalangan peserta Forum Evaluasi Ekonomi dan Pemerintahan Kabupaten Rembang. Acara yang berlangsung di Kantor Kecamatan Rembang ini dihadiri oleh 529 peserta, termasuk kepala desa, Ibu-ibu PKK, serta undangan lainnya, yang berharap mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang perkembangan ekonomi dan pemerintahan di daerah tersebut.
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan doa bersama. Camat Rembang memberikan sambutan, diikuti oleh anggota DPRD Dapil 1, Absanto, yang juga menyampaikan pandangannya.
Bupati Hafidz kemudian menyampaikan presentasi mengenai pertumbuhan ekonomi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Ia menyoroti keberhasilan menarik investor asal Korea untuk mendirikan pabrik sepatu di Clangapan.
Namun, perhatian peserta forum segera tertuju pada data pengangguran yang disampaikan oleh Hafidz. Ia mengklaim bahwa angka pengangguran di Rembang menunjukkan penurunan yang signifikan.
Data pengangguran dari 2019 hingga 2022 mencerminkan ketidakstabilan yang mengkhawatirkan. Pada 2019, pengangguran pusat mencapai 5,28%, provinsi 4,49%, dan Rembang 3,69%. Angka ini melonjak pada tahun 2020: pusat 7,76%, provinsi 6,48%, dan Rembang 4,08%. Meskipun pada 2021 pengangguran di pusat menurun menjadi 6,49% dan provinsi 5,09%, Rembang justru naik menjadi 4,67%. Pada 2022, Rembang mengalami penurunan drastis ke 1,76%, tetapi fluktuasi sebelumnya menunjukkan adanya tantangan serius dalam pengelolaan ketenagakerjaan.
Analisis lebih lanjut terhadap data ini menimbulkan keraguan. Buku “Average is Always Wrong” dan “How to Lie with Statistics” menjelaskan bagaimana statistik dapat disalahgunakan atau disalahartikan, dan situasi ini tampaknya mencerminkan beberapa prinsip tersebut.
Salah satu isu utama adalah pengabaian tren fluktuatif. Meskipun Bupati menekankan penurunan yang terjadi pada 2022, ia mengabaikan kenaikan pengangguran pada 2020 (4,08%) dan 2021 (4,67%), yang menunjukkan bahwa situasi lebih kompleks dari yang digambarkan.
Penggunaan rata-rata yang menyesatkan juga menjadi perhatian. Dengan hanya menyoroti penurunan di tahun tertentu, gambaran yang diberikan dapat menutupi masalah struktural yang lebih dalam. Rata-rata bisa menjadi alat yang menyesatkan jika tidak disertai pemahaman mendalam tentang variabilitas data.
Konteks di balik presentasi ini cukup mengenaskan. Rembang mengalami defisit APBD sebesar 90 milyar, yang tampaknya diabaikan oleh Hafidz.
Lebih jauh, perbandingan yang dilakukan oleh Hafidz antara Rembang, pusat, dan provinsi juga kurang tepat. Sebagai contoh, pada 2021, meski pengangguran di Rembang lebih rendah dibandingkan pusat, namun lebih tinggi dibandingkan provinsi, menunjukkan kompleksitas yang lebih besar daripada sekadar angka yang lebih rendah.
Selain itu, Hafidz tidak membahas faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi data pengangguran, seperti migrasi tenaga kerja atau perubahan metodologi penghitungan. Informasi ini sangat penting untuk memberikan konteks yang lebih komprehensif mengenai dinamika pengangguran di Rembang.
Rofik, yang bertindak sebagai pemandu dialog interaktif, berusaha mengarahkan diskusi ke topik lain, tetapi pertanyaan mengenai akurasi data tetap menjadi sorotan. Banyak peserta forum merasa perlu adanya transparansi dan analisis yang lebih mendalam dalam menyajikan data kepada publik.
Diskusi ini menekankan pentingnya memahami konteks dan kompleksitas data statistik sebelum digunakan dalam pengambilan keputusan kebijakan. Kesalahan dalam interpretasi data bisa berujung pada kebijakan yang tidak tepat dan tidak efektif dalam jangka panjang.
Acara ini ditutup dengan hiburan, meskipun perdebatan mengenai data pengangguran masih terdengar di kalangan peserta. Forum ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya keterbukaan dan akurasi dalam penggunaan data statistik di pemerintahan.
Bagi banyak pihak, kejadian ini menjadi pengingat bahwa statistik, meskipun tampak objektif, dapat digunakan untuk mendukung berbagai narasi tergantung pada cara penyajian dan penafsirannya. Ini juga menggarisbawahi perlunya pendidikan statistik yang lebih baik bagi para pembuat kebijakan.
Forum Evaluasi Ekonomi dan Pemerintahan ini, meskipun berakhir dengan catatan kritis, berhasil menyoroti isu-isu penting yang harus dihadapi Rembang dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di masa mendatang, diharapkan ada peningkatan dalam cara analisis dan penyajian data, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan realitas dan kebutuhan masyarakat. [dm]