Ancaman Ketimpangan Lanskap Desa di Balik Gebyar Geopark Dieng

r 1

NASIONAL, Mercusuar.co – Di balik keelokan panorama dan semarak festival budaya, olahraga, dan wisata yang kini lekat dengan citra Geopark Dieng—yang secara resmi dinobatkan sebagai Geopark Nasional pada 7 Mei 2025—tersimpan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari semua ini?

Dengan cakupan berupa 23 situs geologi, 8 situs keanekaragaman hayati, dan 9 situs kebudayaan yang membentang dari wilayah Banjarnegara hingga Wonosobo, kawasan ini tak hanya menyimpan kekayaan geologi, tetapi juga menjadi arena kontestasi nilai lahan dan ketimpangan sosial yang semakin nyata.

Dengan mengusung tagline Pelataran Kahyangan Nusantara, Aspiring Geopark Dieng selama ini dipromosikan sebagai upaya pelestarian bumi yang berbasis wisata berkelanjutan. Namun, studi kritis terhadap geopark lain—yang dilakukan oleh Dr. Rucitarahma Ristiawan (UGM) bersama Wageningen University—menunjukkan bahwa di balik narasi konservasi dan pembangunan, geopark justru menyimpan potensi konflik ruang dan relasi kuasa. Dalam praktiknya, geopark membuka peluang besar bagi investasi dan komodifikasi lahan, yang tidak selalu berpihak pada warga desa.


Ketika Tanah Jadi Komoditas Baru

Daftar isi

Geopark Dieng memang belum dikaji secara spesifik dalam riset tersebut, namun fenomena serupa sudah mulai terasa. Sejumlah warga di sekitar geosite—seperti di Desa Kepakisan, Sembungan, Dieng, Mlandi, Maron, Tlogo, Patakbanteng, Dieng Kulon, Parikesit, dan Desa Tieng—melaporkan adanya lonjakan harga lahan yang drastis.

Tanah-tanah miring yang dulu dianggap tak bernilai kini diburu investor dan pemilik modal untuk dijadikan penginapan, destinasi wisata, kafe, atau spot swafoto berbayar. Seperti yang ditemukan dalam studi di Geopark Gunung Sewu dan Ciletuh, perubahan fungsi lahan ini sering kali berlangsung tanpa keterlibatan utuh dari warga.

Di Dieng, tak sedikit petani kentang atau penggarap lahan yang harus mengganti rute ke ladangnya karena akses jalan telah diambil alih oleh bangunan wisata. Kecelakaan lalu lintas akibat padatnya kendaraan wisata juga mulai dikeluhkan, terutama saat libur panjang. Bahkan, pengajian rutin oleh ormas Islam pun terkendala akibat padatnya arus lalu lintas.


Geopark: Dari Konservasi ke Komersialisasi

Pengelolaan Geopark Dieng yang awalnya menekankan aspek konservasi kini perlu diwaspadai karena perlahan bergeser ke arah ekonomi. Gelaran budaya, olahraga, dan wisata telah menjadi magnet tahunan yang mendatangkan ribuan pengunjung. Namun, pertanyaannya: apakah warga lokal benar-benar diuntungkan?

Riset UGM menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, warga terdampak terbagi menjadi tiga kelompok:

  1. Kelompok kuat — memiliki lahan strategis dan jaringan kuat, bisa menegosiasikan harga atau bahkan ikut dalam proyek.

  2. Kelompok menengah — membuka warung atau homestay kecil, sambil tetap bertani.

  3. Kelompok rentan — tidak punya cukup modal untuk bersaing, tetapi juga tak cukup kuasa untuk menolak perubahan.

Di Dieng, kelompok ketiga ini mulai tampak: warga tanpa lahan strategis atau koneksi kuat kini hanya menjadi penonton dalam geliat ekonomi baru yang lahir dari geopark. Ironisnya, mereka tetap harus menanggung dampak: polusi, kemacetan, hingga naiknya harga kebutuhan pokok.


Ketimpangan dan Politik Ruang Desa

Fenomena ini bukan sekadar persoalan pasar. Studi UGM menunjukkan bahwa naiknya nilai lahan sering kali dibentuk oleh relasi kekuasaan. Di Dieng, kabar tentang kemudahan izin mendirikan bangunan bagi investor tertentu atau pembangunan di zona konservasi tanpa kajian dampak lingkungan yang memadai, menguatkan dugaan adanya praktik klientelisme di tingkat lokal.

Pembangunan jalan, jaringan listrik, dan infrastruktur lainnya memang membawa kemajuan. Namun, siapa yang menentukan lokasi pembangunan? Siapa yang punya wewenang menata ulang kawasan geosite yang sensitif secara ekologi? Tanpa tata kelola yang inklusif dan berpihak pada desa, pembangunan geopark bisa menjadi alat peminggiran yang halus namun sistematis.


Mewaspadai Pola yang Berulang

Pengalaman di Gunung Sewu dan Ciletuh memberi satu pelajaran penting: tanpa peran aktif dan kritis dari perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan warga desa, proyek geopark hanya akan melanggengkan ketimpangan lama dalam kemasan baru.

Di Dieng, kita masih punya kesempatan untuk mencegah pola itu terulang. Desa-desa sekitar 23 geosite harus menjadi aktor utama, bukan sekadar objek pembangunan. Forum desa, kelompok tani, UMKM, Pokdarwis, dan komunitas lokal perlu diperkuat agar mampu bernegosiasi dan menentukan arah pembangunan yang berpijak pada keadilan ekologis dan sosial.


Kajian Akademik: Melihat Lebih Dalam

Keresahan atas ketimpangan pembangunan geopark telah dikaji secara serius oleh Dr. Rucitarahma Ristiawan bersama tim dari Wageningen University dalam studi berjudul “Apprehending Land Value Through Tourism in Indonesia”. Kajian ini telah dipublikasikan secara internasional dalam jurnal Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie (Q1) pada tahun 2024.

Penelitian tersebut membedah bagaimana geopark dan proyek wisata sejenis membentuk nilai lahan tidak semata-mata melalui hukum pasar, melainkan juga lewat dinamika kekuasaan yang kompleks. Dalam konteks pasca-reformasi dan desentralisasi di Indonesia, aktor-aktor lokal dan regional memainkan peran besar dalam menentukan siapa yang mendapatkan akses atas lahan dan siapa yang tersingkir.

Kenaikan nilai lahan—seperti dari Rp30 ribu menjadi Rp1 juta per meter persegi di Geopark Gunung Sewu—tidak hanya karena permintaan, melainkan karena peran aktif elite lokal dalam mengatur ulang ruang. Pemerintah daerah, pengembang, bahkan akademisi ikut menyusun narasi geopark sebagai “zona investasi hijau”, meski praktiknya jauh dari inklusif.


Dieng dan Cermin Gentrifikasi Pedesaan

Gentrifikasi adalah proses perubahan sosial, ekonomi, dan fisik di suatu kawasan—biasanya kawasan berpenghasilan rendah—yang mulai menarik pendatang kaya. Proses ini umumnya melibatkan:

  1. Peningkatan harga tanah dan biaya hidup.

  2. Masuknya investasi seperti hotel, kafe, homestay, vila, dan fasilitas wisata.

  3. Tergesernya penduduk asli karena tidak mampu menanggung biaya hidup atau tidak cocok dengan gaya hidup baru.

Dalam konteks desa wisata atau geopark:

  • Desa yang tadinya tenang dan berbasis pertanian mulai ramai dikunjungi wisatawan.

  • Investor datang membangun penginapan dan fasilitas wisata.

  • Harga tanah naik, lahan pertanian dijual.

  • Warga lokal tanpa modal atau koneksi tersingkir atau hanya jadi pekerja di tanahnya sendiri.

Apa yang terjadi di Gunung Sewu dan Ciletuh mencerminkan gentrifikasi pedesaan: desa dan lahannya diubah menjadi ruang konsumsi kelas menengah-atas, sementara warga lokal hanya diberi peran pinggiran. Proses ini mulai tampak di Dieng: homestay tumbuh pesat, restoran meniru gaya kota, dan tanah ladang perlahan berubah fungsi.

Warga terdampak dapat dibagi menjadi:

  1. Kelompok kuat: punya tanah strategis dan koneksi dengan elite lokal, bisa jadi pemenang.

  2. Kelompok adaptif: bertahan dengan membuka usaha kecil sambil tetap bertani.

  3. Kelompok rentan: minim sumber daya, makin terpinggirkan—secara sosial, ekonomi, dan geografis.

Ketiga kelompok ini kini hidup berdampingan di Dieng, namun dalam posisi yang tidak setara.


Menilik Kembali Road Map Pemulihan Dieng

Road map program Pemulihan Dieng 2007–2014 disusun oleh banyak pakar nasional, termasuk dari perguruan tinggi ternama seperti IPB. Salah satunya, Dr. Bramasto, pernah mengingatkan:

“Kalau upaya pemulihan Dieng dilakukan dengan mengganti pola ekonomi dari pertanian ke pariwisata, maka lahan pertanian yang seharusnya dikonservasi akan tumbuh menjadi vila, bukan vegetasi tanaman keras yang punya fungsi lindung.”


Saat Narasi Hijau Menutupi Realitas Abu-Abu

Narasi geopark sebagai upaya pelestarian bumi bisa menjadi alat untuk membungkam kritik. Banyak program CSR, pelatihan masyarakat, dan pencitraan keberlanjutan digencarkan, namun belum menyentuh akar persoalan: siapa yang mengendalikan lahan, dan untuk kepentingan siapa pembangunan dilakukan?

Geopark sebagai “kemasan ideal” pembangunan, seperti disorot dalam studi Rucitarahma, bisa memuluskan kepentingan elite dengan cara yang terlihat mulia. Inilah yang harus diwaspadai di Dieng.


Mengawal Geopark agar Tetap Berpihak ke Desa

Studi UGM menjadi alarm penting bagi pengelolaan Geopark Dieng. Tanpa kontrol kuat dari masyarakat desa dan pendampingan kritis dari akademisi—seperti UGM, Undip, Unsiq—geopark bisa menjadi ladang subur bagi praktik korporatisasi pedesaan.

Perguruan tinggi dan tim ahli, yang sempat berperan sebagai penyeimbang dalam kasus Gunung Sewu, perlu hadir kembali di Dieng sebagai mitra kritis desa, bukan sekadar teknokrat pembangunan.


Menata Ulang Narasi Geopark

Geopark bukan hanya soal batu dan kawah; ia adalah cerita tentang tanah, warga, dan masa depan. Jika ingin benar-benar berkelanjutan, narasi geopark harus ditata ulang: dari proyek wisata menjadi gerakan pelestarian berbasis keadilan sosial.

Pemerintah, kampus, dan masyarakat sipil harus memastikan bahwa gebyar Geopark Dieng bukan hanya untuk pelancong dan investor, tetapi benar-benar membawa kemakmuran bagi desa-desa yang menjadi penjaga lanskapnya.

Pos terkait