MERCUSUAR.CO, Jakarta – Pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019, sekitar 34,75 juta orang atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih terdaftar memilih untuk menjadi bagian dari Golongan Putih, yang biasa disingkat sebagai Golput. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu 2014, di mana jumlahnya mencapai 58,61 juta orang atau sekitar 30,22 persen dari pemilih terdaftar.
Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Golput, dan apakah ada sanksi yang diberlakukan terhadap orang-orang yang mengajak orang lain untuk Golput?
Makna dan Sejarah Golput
Istilah “Golput” merujuk kepada peserta pemilu yang memilih untuk tidak memberikan suara dalam pemilihan umum. Makna ini memiliki kesamaan arti dengan istilah “abstensi” dari bahasa Inggris, yang berarti menjauhkan diri dari sebuah proses.
Asal usul istilah “Golput” berasal dari gerakan protes yang dimulai oleh para mahasiswa dan pemuda untuk menentang pelaksanaan Pemilu 1971, yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Saat itu, terdapat 10 partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu, jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Pemilu 1955 yang diikuti oleh 172 partai politik. Gerakan ini dipimpin oleh tokoh terkenal, Arief Budiman, tetapi istilah “Golput” sendiri pertama kali dicetuskan oleh Imam Waluyo, seorang teman dari Arief.
Gerakan ini menganjurkan agar mereka yang tidak ingin memilih partai politik atau Golongan Karya (Golkar) menyobek bagian putih pada surat suara di luar gambar partai politik peserta pemilu. Kala itu, jarang ada yang berani untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan terdeteksi. Istilah “Golput” kemudian juga digunakan untuk merujuk kepada mereka yang memilih untuk tidak memberikan suara, yang merupakan kebalikan dari Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.
Sanksi Bagi Golput
Banyak orang menganggap bahwa Golongan Putih adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, bahkan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Namun, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), baik memilih maupun tidak memilih, keduanya adalah bagian dari hak politik warga negara. Pasal 28 UUD 1945 menjamin setiap warga negara merdeka untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya.
ICJR menjelaskan bahwa hal ini dapat dilihat dari dua pandangan. Pertama, memilih pada dasarnya adalah hak yang bisa digunakan atau tidak digunakan. Oleh karena itu, bisa diartikan sebagai pilihan seseorang untuk tidak menggunakan haknya tersebut. Kedua, dapat diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Posisi seseorang atau kelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan merupakan pelanggaran hukum, karena tidak ada aturan hukum yang melarang seseorang untuk Golput. Namun, Pasal 515 UU Pemilu mengatur kemungkinan sanksi terhadap mereka yang menggerakkan orang lain untuk tidak memberikan suaranya dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
Dalam hal ini, sanksi hanya berlaku jika ada janji atau pemberian uang atau materi lain yang diberikan untuk memengaruhi orang agar tidak menggunakan suaranya pada hari pemilihan. Oleh karena itu, mengambil sikap Golput adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan tidak dapat dipidana. Sebaliknya, mengajak orang untuk Golput dengan iming-iming uang atau materi dapat dikenai sanksi dengan hukuman penjara maksimal tiga tahun atau denda hingga Rp36 juta.