Mercusuar.co, WONOSOBO – Sebuah tugu berbentuk patung biawak berdiri kokoh di tepi jalan utama yang menghubungkan Wonosobo dan Banjarnegara, tepatnya di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto. Sejak selesai dibangun awal tahun ini, monumen yang diberi nama Tugu Krasak Menyawak itu menjadi sorotan banyak orang—baik warga sekitar maupun para pelintas jalan yang penasaran dengan sosok reptil raksasa yang tampak begitu nyata.
Patung tersebut digagas oleh pemuda Karang Taruna setempat, dipahat dan dibentuk oleh tangan kreatif seniman lokal bernama Arianto. Dengan tinggi mencapai 7 meter dan lebar 4 meter, sosok biawak yang merayap di atas batu dengan lidah menjulur dan kepala menoleh ke kiri itu tampak hidup dalam diamnya.
Ketua Karang Taruna Kecamatan Selomerto, Ahmad Gunawan Wibisono, menceritakan bahwa inspirasi pembangunan tugu ini datang dari kehidupan liar yang telah lama menyatu dengan lingkungan Desa Krasak. Di bawah Jembatan Menyawak, yang berada tak jauh dari lokasi tugu, populasi biawak masih bisa ditemui hingga kini.
“Di situlah habitat alami biawak. Kami ingin mengenalkan identitas desa ini melalui simbol yang sudah melekat sejak lama,” ujar Gunawan, Senin (21/4/2025).
Nama “menyawak” sendiri diambil dari bahasa Jawa yang berarti “biawak”. Maka, keberadaan tugu ini bukan sekadar ornamen jalan, tetapi juga cerminan hubungan antara warga dan alam di sekitarnya.
Namun, tugu itu tak hanya berbicara tentang alam. Di sekitarnya juga tersimpan catatan sejarah yang penting. Kawasan Jembatan Menyawak pernah menjadi lokasi bentrokan dalam masa Agresi Militer Belanda pertama. Pertempuran sengit antara tentara Jepang dan pasukan Sekutu berlangsung di tempat ini, menjadikan kawasan tersebut saksi bisu perjuangan masa lalu.
Pengerjaan tugu dimulai pada 3 Februari 2025 dan rampung dalam waktu sekitar satu setengah bulan. Meski beberapa elemen seperti taman dan tempat duduk masih dalam proses penyempurnaan, antusiasme warga sudah tampak sejak awal pembangunan.
Tidak sedikit pengendara yang memperlambat laju kendaraan untuk berhenti sejenak dan mengambil gambar. Tugu ini seolah menghadirkan narasi visual yang memikat, memadukan seni, alam, dan sejarah dalam satu titik.
Di tengah ramainya perhatian, muncul kabar bahwa pembangunan tugu menggunakan dana desa hingga puluhan juta rupiah. Kepala Desa Krasak, Supinah, menegaskan kabar itu tidak benar.
“Anggarannya berasal dari dana CSR dan juga swadaya masyarakat. Warga ikut serta dalam bentuk gotong royong dan menyediakan konsumsi selama pembangunan,” jelas Supinah.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat. Ia menekankan bahwa tidak ada dana APBD yang digunakan untuk proyek ini.
“Pemerintah daerah tidak menganggarkan pembangunan ini dari APBD. Kami lebih memilih untuk mendorong BUMD terlibat, sebagai bentuk tanggung jawab sosial,” jelas Afif.
Ia pun menyampaikan apresiasi terhadap Arianto, seniman yang mengerjakan patung tersebut, sekaligus memberi penghargaan atas peran pemuda yang telah membangun semangat kolektif di desanya.
“Karya ini lahir dari proses yang melibatkan banyak pihak, dan hasilnya patut dibanggakan,” ucapnya.
Kini, Tugu Krasak Menyawak bukan hanya menjadi penanda jalan atau daya tarik visual, tapi juga simbol kebanggaan masyarakat. Di antara gemuruh lalu lintas dan aliran Sungai Serayu yang mengalir di bawahnya, patung biawak itu berdiri sebagai pengingat akan alam, sejarah, dan kekuatan gotong royong.(Gen)