Intrik dan Pengasingan: Tragedi Permaisuri dan Putra Sultan Hamengkubuwono V

Permaisuri Yogyakarta diasingkan karena konflik keluarga di istana pada hari Senin setelah perdebatan panjang Proses pengasingan dilakukan dengan pengawalan ketat. (Afif/Mercusuar)
Permaisuri Yogyakarta diasingkan karena konflik keluarga di istana pada hari Senin setelah perdebatan panjang Proses pengasingan dilakukan dengan pengawalan ketat. (Afif/Mercusuar)

MERCUSUAR, Wonosobo, 27 Juli 2024 – Kesultanan Yogyakarta menyimpan sejarah kelam terkait perebutan takhta dan pengasingan yang menimpa Permaisuri Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putra mahkota Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga. Setelah kematian Sultan Hamengkubuwono V pada 5 Juni 1855, konflik internal dan intrik politik memaksa keduanya diasingkan ke Manado di bawah pengaruh pemerintah Belanda. Bagaimana kisah hidup mereka setelah pengasingan ini?

Kesultanan Yogyakarta ternyata punya keturunan yang pernah hidup di Manado sejak akhir 1800-an. Ini terkait dengan dibuangnya Permaisuri dan Putra Mahkota Sri Sultan Hamengkubuwono V, yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga. Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sam Ratulangi Manado, Roger Kembuan, mengungkapkan pada Senin, 3 Juli 2017, bahwa keduanya pernah tinggal, bahkan wafat dan dimakamkan di Manado. “Kompleks pemakaman itu terletak di Kelurahan Mahakeret Barat, Kecamatan Wenang, Manado,” katanya.

Roger dalam tesisnya menulis tentang para eksil yang dibuang ke kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. “Semua diawali dari kemelut yang terjadi di Kesultanan Yogyakarta, terutama setelah Sultan HB V wafat pada tanggal 5 Juni 1855,” kata Roger. Saat wafat itu, Sultan HB V meninggalkan permaisurinya Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dalam keadaan hamil tua. Dua minggu kemudian, ia melahirkan seorang putra pada 17 Juni 1855 dan diberi nama RM Gusti Timur Muhammad alias Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.

Kematian Sultan HB V yang mengejutkan membuat istana bergejolak. Para pangeran yang sudah lebih senior mulai melakukan intrik, sehingga menimbulkan isu bahwa seorang putra raja yang lahir setelah raja meninggal menurut adat Jawa tidak berhak atas takhta. Pemerintah Belanda kemudian mengangkat adik Hamengkubuwono V menjadi Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877). Kejanggalan dalam cara pengangkatan dan penggantian sultan ini menyebabkan timbulnya berbagai reaksi penentangan.

“Ambisi Ratu Sekar Kedaton dan kemudian kerabatnya, membuat RM Gusti Timur Muhammad menjadi harapan banyak orang yang berkepentingan dalam keraton Yogyakarta,” kata Roger. Berbagai upaya dilakukan Kanjeng Ratu Sekar Kedaton untuk tetap mempertahankan posisi putranya Gusti Timur Muhammad sebagai penerus takhta raja. Ia bahkan menikahkan Gusti Timur Muhammad dengan salah satu putri Sultan HB VII dengan harapan memperkuat sekutu dalam istana. Namun, upaya permaisuri membawa Gusti Timur Muhammad ke kursi raja tetap gagal.

Pada 5 Maret 1883, putra Sultan Hamengkubuwono VII dari istri kedua yang baru berusia 10 tahun, RM Akhadiyat, diangkat sebagai putra mahkota yang kelak menggantikannya sebagai Sultan HB VIII. Ratu Kedaton yang tak tahan ambisinya terus ditekan memilih jalan kekerasan. “Namun akhirnya, dia tertangkap saat melakukan perlawanan pada 8 April 1883,” ujar Roger. Van Baak, perwakilan pemerintah Hindia Belanda, mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Frederiks Jacob yang berisi permintaan untuk mengasingkan Ratu Kedaton dan Pangeran Timur Muhammad. Tiga hari kemudian, Sultan mengeluarkan perintah untuk mengasingkan keduanya dari Jawa.

Beberapa koran seperti De Locomotief dan Soerabaja Handelsblad memberitakan proses pembuangan Ratu dan Pangeran Soerio Ingalaga. Keduanya lalu dikirim dengan kereta api khusus ke Semarang dan kemudian ditempatkan di Kapal Uap Cheribon. Rombongan permaisuri yang terbuang itu selanjutnya berlayar sekitar lima jam ke Surabaya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Manado. “Di Manado, Ratu Sekar Kedaton dan putranya beserta keluarga yang mengiringi, bermukim di daerah Pondol. Di tempat itu mereka tinggal di Pesanggrahan yang pernah dihuni Pangeran Diponegoro,” tutur Roger.

Selama di Residen Manado, Ratu Sekar Kedaton dan Timur Muhammad bersama keluarga diberikan uang bulanan sebesar 150 gulden dari kas keraton Yogyakarta. “Timur Muhammad atau Pangeran Soerio Ingalaga meninggal lebih dulu pada 12 Januari 1901,” ujar Roger. Setelah kematian pangeran, Residen Menado van Hengel meminta Ratu Kedaton untuk dikembalikan ke Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa ratu telah lanjut usia, dan setelah kematian anaknya tersebut dianggap bukan menjadi ancaman lagi bagi keraton. “Namun hal itu sepertinya tidak direstui, dan permaisuri tetap tinggal di Manado hingga meninggal pada 25 Mei 1918,” ujar Roger. Setelah permaisuri dan putranya meninggal, yang tersisa di pengasingan adalah istri putranya yakni RA Kanjeng Gusti, putri kedua Sri Sultan HB VII, dan anak-anaknya yakni Abdul Razak (Radjab), putri RA Mariah, dan RA Salamah.

Abdul Razak menikah dengan Unggu Bin Sihaka, dan memiliki empat anak, yaitu RM Sujadi, RM Obed, RA Tien dan seorang yang tidak diketahui namanya. “Abdul Razak juga menikah untuk kedua kali dengan gadis Manado, Ema Sondakh. Tapi tidak memperoleh keturunan,” tutur Roger. Sepeninggal Ratu Sekar Kedaton dan Timur Muhammad, Abdul Razak beberapa kali mengirim petisi yang meminta agar mereka dikembalikan ke Jawa. Namun, permintaan itu tak digubris Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, de Graeff. Pada 3 Januari 1934, Abdul Razak pergi ke Batavia untuk bertemu dengan Gubernur Jendral De Jonge dan kembali meminta izin agar dapat kembali ke Jawa. Permintaan itu akhirnya dipenuhi tetapi dengan syarat. “Abdul Razak dan seluruh keluarganya diizinkan untuk kembali di Jawa, tetapi di luar wilayah Kesultanan Yogyakarta,” ujar Roger.

Pada 1940, RM Abdul Razak bersama keluarganya kembali ke Jawa, dengan keseluruhan biaya kepindahan mereka ditanggung pemerintah Belanda. Namun, tak ada catatan lengkap apakah seluruh anak Timur Muhammad, yakni Abdul Razak dan dua saudaranya serta keturunan mereka kembali ke Jawa pada 1940 itu. “Yang kami tahu keluarga Jawa, dan kini sudah campuran yang ada di Pondol Keraton ini merupakan keturunan dari Putra Mahkota Sultan HB V. Mereka tidak ikut pulang ke Jawa saat itu,” ujar Mohammad Albuchari, juru kunci makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Timur Muhammad.

Albuchari, warga kampung Pondol, Kelurahan Wenang Utara, Manado ini mengatakan, ayahnya dulu menjadi salah satu petugas yang memungut iuran atau upeti dari warga yang tinggal di Pondol Keraton. “Sampai sekarang warga asli Pondol ini banyak didominasi keturunan Jawa dan Sumatera,” kata Albuchari.

Gusti Raden Mas Gathot Menol atau yang lebih dikenal dengan julukan Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah anak ke-6 dari Hamengkubuwono IV. Sri Sultan Hamengkubuwono V ini lahir pada 24 Januari 1820, ia berkuasa dari tanggal 19 Desember 1823 hingga 17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17 Januari 1828 hingga 5 Juni 1855. Sri Sultan Hamengkubuwono V wafat pada 5 Juni 1855 pada usia yang masih sangat muda, 34 tahun. Di balik kematiannya ternyata menyimpan kisah berdarah.

Sri Sultan Hamengkubuwono V merupakan putra mahkota dari generasi sebelumnya harus naik takhta saat usianya masih 3 tahun. “Kematian mendadak Sultan Hamengkubuwono IV itulah yang membuat putra mahkota harus segera naik takhta meskipun masih berusia balita,” ucap pembicara YouTube Ada Info. Tak sampai di situ saja, ia diturunkan dari singgasana dan tahtanya diambil kembali oleh Hamengkubuwono II. Semua itu tak lepas dari pengaruh Belanda. “Belanda yang saat itu terlibat konflik melawan Pangeran Diponegoro berusaha memecah belah internal Keraton dan rakyat Yogyakarta,” ucap pembicara.

Setelah wafat, Hamengkubuwono V akhirnya kembali ke takhta. Namun, selama bertahta ia cenderung main aman dan tak ingin membuat masalah dengan Belanda. Bahkan sebagian warga istana dan rakyat Yogyakarta disinyalir merasa Sultan Hamengkubuwono V ini terlalu lembek dan patuh terhadap Belanda. Hingga menimbulkan konflik internal. Hingga akhirnya, pada 5 Juni 1855 terjadi aksi pembunuhan yang dilakukan oleh selir kesayangannya yang bernama Kanjeng Mas Hemawati yang diduga terlibat dalam polemik. “Sultan Hamengkubuwono 5 ditikam dari belakang oleh sang selir hingga tewas, pihak Keraton menutup rapat-rapat segala hal tentang kasus ini termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati,” ucap pembicara. “Sampai kini, alasan Kanjeng Mas Hemawati melakukan tindakan tersebut belum terkuak. Masih menjadi misteri tersendiri dalam riwayat sejarah raja-raja dinasti Mataram Islam,” lanjutnya.

Akhirnya, peristiwa tersebut dikenang dengan istilah ‘Wereng Saketi Tresno‘ atau mati di tangan orang yang dicintainya. Itulah kisah kematian tragis Sri Sultan Hamengkubuwono V. (pep)

Pos terkait