WONOSOBO, Mercusuar.co – Suasana Rabu pagi di kawasan Andongsili, Wonosobo, terasa sedikit berbeda dari biasanya. Sinar matahari menimpa lembut dinding megah berwarna hijau yang mendominasi bangunan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Wonosobo. Dari kejauhan, tampak beberapa mobil berpelat resmi berhenti di halaman sekolah. Di antara lalu-lalang siswa berseragam rapi, sejumlah tamu berpenampilan formal turun satu per satu. Mereka bukan orang sembarangan — melainkan rombongan Komisi Hak Asasi Manusia (Komda HAM) Kabupaten Wonosobo.
Kedatangan mereka terkesan mendadak, tanpa pengumuman resmi sebelumnya. Namun, begitu nama “Komda HAM” disebut, suasana sekolah mendadak riuh oleh rasa ingin tahu. “Ada apa ya, kok tiba-tiba Komda HAM datang?” tanya salah satu siswa sambil berbisik kepada temannya.
Rombongan itu dipimpin langsung oleh Tafrihan, Wakil Ketua Komda HAM Kabupaten Wonosobo, didampingi oleh empat anggota: Ipung, Wening, Yusuf, dan Rumekso. Mereka disambut hangat oleh Kepala Madrasah, Warsam, bersama jajaran guru dan tenaga kependidikan lainnya. Senyum ramah sang kepala madrasah dan jabat tangan yang bersahabat mencairkan suasana yang semula kaku karena kunjungan yang begitu mendadak itu.
Misi dari Bupati
Dalam sambutan awalnya, Tafrihan menjelaskan maksud kedatangan timnya.
“Kami datang ke sini atas perintah langsung dari Bapak Bupati Wonosobo. Tujuan kami adalah untuk melihat sejauh mana penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia diterapkan di tingkat satuan pendidikan,” ujarnya membuka sesi diskusi dengan nada tenang namun tegas.
Menurut Tafrihan, sekolah merupakan salah satu ruang sosial paling strategis dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena di sinilah generasi muda belajar memahami hak, kewajiban, dan keadilan sejak dini. “Kalau kita bicara HAM, maka yang pertama harus diperhatikan adalah bagaimana lembaga pendidikan menghargai kemanusiaan peserta didik dan tenaga pendidiknya,” tambahnya.
Setelah sambutan singkat, sesi pertama pun dimulai. Rombongan Komda HAM duduk melingkar bersama puluhan siswa perwakilan dari berbagai kelas. Di hadapan mereka disediakan mikrofon kecil — dan setiap siswa diberi kesempatan berbicara.
Sesi Siswa: Antusias, Jujur, dan Mengalir
Awalnya suasana terasa canggung. Namun begitu satu siswi maju berbicara, ruangan menjadi hidup.
“Saya ingin jalan menuju sekolah ini diperbaiki, Pak. Banyak jalan berlubang dan tidak ada trotoar. Kami sering harus berjalan di bahu jalan, padahal mobil dan motor lewat dengan kecepatan tinggi. Kami takut, tapi mau bagaimana lagi,” ucap seorang siswi berhijab dengan nada jujur.
Beberapa siswa lain menimpali dengan beragam curahan hati. Mereka menyebutkan hak-hak dasar yang menurut mereka belum sepenuhnya terpenuhi — baik dari lingkungan rumah, sekolah, maupun pemerintah.
Ada yang menyebut hak untuk istirahat, hak atas udara bersih dan bebas asap rokok, bahkan hak untuk didengar dan dihargai pendapatnya.
“Saya sering merasa kalau anak-anak jarang didengarkan. Padahal kadang kita punya ide atau perasaan yang pengin disampaikan, tapi dianggap remeh oleh orang dewasa,” ujar seorang siswa laki-laki disambut anggukan dari teman-temannya.
Beberapa siswa juga menyinggung persoalan bantuan pendidikan.
“Kami berharap ada keadilan dalam pembagian dana PIP (Program Indonesia Pintar). Karena ada teman-teman yang sebenarnya mampu tapi dapat, sementara yang benar-benar butuh malah tidak,” ucap salah satu siswa kelas XI dengan nada hati-hati namun tegas.
Tidak hanya itu, sebagian besar siswa mengeluhkan kurangnya fasilitas umum yang mendukung keselamatan mereka menuju sekolah. Jalan rusak, tidak adanya trotoar, serta kurangnya penerangan malam hari menjadi persoalan yang nyata.
Pesan dari Komda HAM: Mulailah dari Sekarang
Menutup sesi pertama, Tafrihan memberikan pernyataan yang cukup mengena di hati para siswa.
“Biasanya pelanggaran HAM itu berawal dari pembiaran dan pemakluman. Kalau kalian ingin mengubah dunia, lakukan saat masih muda. Karena kalau sudah tua, jangankan mengubah dunia, mengganti channel televisi saja bisa susah,” katanya disambut tawa lepas dari para siswa.
Namun di balik candanya, tersirat pesan serius — bahwa kesadaran akan hak dan kemanusiaan tidak boleh menunggu waktu.
Sesi Kedua: Guru dan Komda HAM Berdiskusi Hangat
Setelah sesi siswa usai, rombongan berpindah ke ruang pertemuan utama untuk berdialog dengan dewan guru dan tenaga kependidikan. Kepala Madrasah, Warsam, memulai dengan paparan singkat tentang kondisi dan capaian MAN 2 Wonosobo.
“Peminat MAN 2 ini cukup tinggi. Namun kami baru bisa menampung sekitar 1.600 siswa karena keterbatasan sarana gedung,” ujar Warsam.
Ia menambahkan bahwa secara prestasi akademik, MAN 2 Wonosobo terus menunjukkan peningkatan, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Namun, di balik itu semua, ada tanggung jawab besar dalam memastikan lingkungan belajar tetap aman, sehat, dan ramah anak.
Terkait pencegahan bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi, pihak sekolah telah berupaya keras melalui berbagai pendekatan. Salah satunya dengan model perwalian aktif, di mana guru kurikulum rutin berkunjung ke kelas untuk mendengarkan curhat dan keluhan siswa.
Selain itu, madrasah juga membiasakan kegiatan shalat dhuha dan shalat dhuhur berjamaah untuk membangun karakter spiritual dan kedekatan emosional antara guru dan siswa. “Kami ingin madrasah ini tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga sehat dan berkarakter,” imbuh Warsam.
Masalah Trotoar dan Keselamatan Siswa
Salah satu hal yang paling banyak disoroti dalam sesi diskusi ini adalah keselamatan siswa di jalan raya.
“Setiap hari, ratusan anak berjalan kaki dari Andongsili sampai Krasak, dan dari arah Kebumen ke sekolah. Tapi mereka terpaksa berjalan di bahu jalan karena tidak ada trotoar. Kondisi ini sangat membahayakan,” ujar salah seorang guru.
Selain itu, beberapa guru juga menyoroti minimnya rambu lalu lintas dan lampu merah (bangjo) di titik-titik rawan kecelakaan, terutama di tugu masuk Desa Krasak dan sekitar SPBU.
“Kalau bisa, dipasang rambu penyeberangan atau lampu lalu lintas di titik-titik itu. Kami khawatir kalau suatu saat terjadi kecelakaan yang melibatkan siswa,” tambahnya.
Mendengar keluhan itu, Tafrihan mengangguk serius. Ia berjanji akan menyampaikan aspirasi tersebut langsung kepada Bupati Wonosobo.
Tafrihan: Sekolah Harus Bentuk Tim Pencegahan Kekerasan
Dalam tanggapan akhirnya, Tafrihan mengapresiasi keterbukaan pihak sekolah dan siswa. Namun ia juga menekankan pentingnya lembaga pendidikan memiliki sistem perlindungan internal yang kuat.
“Kami menyarankan agar MAN 2 Wonosobo segera membuat peraturan bersama tentang pencegahan kekerasan, bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi,” katanya.
Langkah itu, menurutnya, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2023 tentang Tindak Pidana Pencegahan Kekerasan (TPPK). Undang-undang ini mengatur pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap satuan pendidikan, serta satuan tugas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Mengenal TPPK Lebih Dekat
Tafrihan kemudian menjelaskan secara rinci kepada guru dan siswa tentang fungsi dan peran TPPK.
TPPK, katanya, bukan hanya sekadar tim reaktif yang menangani kasus, tetapi juga garda depan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan bebas kekerasan.
Secara umum, tugas TPPK meliputi:
1. Menyampaikan rekomendasi program pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.
2. Melaksanakan sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan.
3. Menerima serta menindaklanjuti laporan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah.
4. Melakukan pemeriksaan terhadap laporan dan memberikan rekomendasi sanksi jika terbukti.
5. Mendampingi korban dan pelapor kekerasan selama proses penyelesaian berlangsung.
6. Memfasilitasi pendampingan psikologis, medis, atau hukum bagi korban.
7. Melaporkan seluruh kegiatan dan hasilnya kepada Dinas Pendidikan minimal sekali dalam setahun.
Menurut UU TPPK, anggota tim ini terdiri dari perwakilan guru, komite sekolah, dan orang tua/wali siswa. Jumlahnya harus ganjil, dengan minimal tiga orang anggota.
Jika satu sekolah belum mampu membentuk TPPK secara mandiri, beberapa sekolah dapat membentuk TPPK bersama di bawah koordinasi Dinas Pendidikan.
“Dengan adanya TPPK, guru juga terlindungi. Jadi tidak hanya siswa yang mendapatkan perlindungan dari kekerasan, tapi juga pendidik dari potensi kriminalisasi atau tuduhan yang tidak proporsional,” terang Tafrihan.
Respon Positif dari Guru dan Kepala Madrasah
Pihak madrasah menyambut baik usulan tersebut. Warsam menegaskan, pihaknya siap membentuk TPPK sesuai regulasi yang berlaku.
“Kami menyadari pentingnya perlindungan bagi semua pihak di lingkungan pendidikan. Madrasah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar, sekaligus tempat tumbuhnya budaya saling menghargai,” ujarnya.
Guru-guru yang hadir juga mengapresiasi pendekatan Komda HAM yang tidak menggurui, melainkan membuka ruang dialog. “Biasanya kalau lembaga datang inspeksi itu suasananya tegang. Tapi kali ini terasa lebih manusiawi dan mendidik,” kata seorang guru senior.
Kesadaran Baru: HAM di Sekolah Bukan Sekadar Teori
Kunjungan Komda HAM ke MAN 2 Wonosobo ternyata menimbulkan kesadaran baru bagi banyak pihak. Bagi siswa, kunjungan itu seperti “pintu curhat” yang jarang terbuka. Bagi guru, menjadi pengingat bahwa HAM bukanlah konsep besar yang jauh di langit, tapi justru hadir dalam keseharian sekolah — mulai dari cara mendengarkan siswa, membimbing tanpa kekerasan, hingga menyediakan fasilitas yang aman.
Bagi Komda HAM sendiri, kunjungan ini menjadi bukti bahwa pendidikan adalah ruang strategis dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.
Terkesan Mendadak, Ada Apa Komda HAM Sambangi MAN 2 Wonosobo?
