MERCUSUAR.CO, Wonosobo – Sejak zaman dahulu, sandal bakiak atau teklek tak bukan hanya berfungsi sebagai pelindung kaki, tetapi juga menjadi simbol kebangsawanan. Banyak yang mengira bahwa bakiak berasal dari Jepang, karena sering muncul dalam film, anime, atau dorama Jepang.
Asal-usul istilah “bakiak” dapat ditelusuri ke kata “bak-kia” dalam dialek Hokkian, menunjukkan kemungkinan berasal dari Tiongkok.
Bakiak sendiri diperkirakan tiba di Nusantara pada abad ke-8, dibawa oleh orang-orang Tiongkok, terutama orang Tang-lang dari Hokkian yang gemar merantau. Sejumlah peninggalan sejarah di Jawa, seperti arca batu di Blitar dari abad ke-14 atau 15 Masehi, menunjukkan pahatan sandal mirip bakiak.
Kemungkinan besar, bakiak mulai populer di Nusantara selama masa kerajaan Hindu-Buddha. Museum History of Java di Yogyakarta menyimpan sandal kayu berusia ratusan tahun dengan sebutan lokal teklek.
Di Wonosobo, sandal teklek atau gapyak (sebutan di Wonosobo) telah ada sejak lama dan banyak digunakan oleh penduduk desa.
Istamaji, seorang warga dari Dusun Gasano, Desa Karangluhur, Kecamatan Kretek, memiliki sejarah panjang dalam memproduksi teklek merek Jago selama 19 tahun.
Ketika ditemui Mercusuar.co, Rabu (10/1/2024) Ia bercertai awalnya, ayahnya yang dulu sebagai tukang kayu di tahun 1990 memanfaatkan limbah produksi kayu untuk di jadikan barang-barang yang memiliki nilai ekonomis seperti teklek, talenan, ulekan, spatula kayu dan sebagainya.
Walaupun ayahnya tidak mengajarinya membuat kerajinan, Ketertarikannya terhadap produk hasil olahan limbah kayu, membuat Maji belajar sampai ke Tasikmalaya dan Jepara.
“Bapak itu dulu tukang kayu, tapi kreatif banget karena suka memanfaatkan limbahnya buat bikin ulekan, teklek dan lainnya.” ujarnya.
Pada tahun 1997, dengan modal hanya 5 juta rupiah, ia membeli peralatan produksi sederhana dan mulai memproduksi teklek, ulekan, talenan, dan barang lainnya.
Awal Mulai Fokus Memproduksi Teklek
Kemudian, pada tahun 2003, ia memutuskan untuk memfokuskan produksinya hanya pada teklek melalui kelompok usaha Bersama yang dinamai Jago. Namun, perjalanan tidak semulus yang diharapkan karena perbedaan pendapat antara anggota kelompok menimbulkan polemik baru yang menyebabkan produksi teklek vakum selama beberapa tahun.
Pada tahun berikutnya, Maji tidak menyerah. Meskipun masih menggunakan nama Jago sebagai merek produknya, ia nekat mencari tambahan modal melalui pinjaman. Perjuangannya akhirnya membuahkan hasil dengan meningkatnya permintaan hingga mencapai 300 pasang per bulan dari daerah Mojokerto.
Periode tahun 2010 hingga 2013 menjadi masa kejayaan bagi usahanya, di mana permintaan terus bertambah. Pengiriman hingga ke berbagai kota di Jawa meningkatkan semangatnya untuk memodifikasi alat produksi guna meningkatkan kapasitas produksi.
Sayangnya, sejak akhir tahun 2016, permintaan kembali menurun karena persaingan yang ketat dari berbagai daerah dan meningkatnya penetrasi penjualan online. Saat ini, Teklek Jago mampu memproduksi 100 pasang per hari dengan bantuan 7 tenaga produksi.
Sedangkan bahan untuk memproduksinya sudah tidak menggunakan limbah, tetapi menggunakan kayu yang berkualitas.
Harga tekleknya cukup terjangkau, hanya Rp. 22.000 per pasang. Maji mengungkapkan bahwa selama pandemi COVID-19, mereka mengubah strategi pemasaran dengan mengikuti tren online. Ia berharap agar sandal teklek dapat menjadi representasi nilai kearifan lokal.
“ya waktu itu saat pandemi kovid kita mengganti strategi pemasaran dengan mengikuti trend yaitu online.” Ungkapnya
Ia berharap agar kedepannya produksi bisa tetap meningkat walau masih tetap mempertahankan rasa tradisional dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin modern.
“Harapannya tetap agar penjualan terus meningkat dan tetap dapat bertahan digempuran zaman yang semakin maju, yang jelas kami akan terus mempertahankan ketradisionalannya.” Tandasnya.