Mercusuar.co, SEMARANG – Ketika isu ketahanan pangan menggema di tengah krisis global dan karena itu dibutuhkan bahan pangan alternatif, petani di Kota Semarang mulai bergerak dengan membudidayakan tanaman ketela pohon (singkong) sebagai bahan pangan alternatif.
Singkong dinilai kaya karbohidrat dan mudah dibudidayakan. Bahkan bisa diolah menjadi berbagai makanan dan bahan baku singkong setelah menjadi produk makanan banyak diminati di pasar ekspor.
Petani Kota Semarang kini mulai melakukan budidaya tanaman singkong untuk ikut mendukung progam ketahanan pangan dan kemandirian pangan yang digalakkan pemerintah.
Salah satunya Sutomo yang mengaku sebagai petani asal Kota Semarang dan tergerak mulai menanam singkong dilahan tak produktif yang disewa-nya di kawasan Gunungpati.
“Ini seluas lima hektar, sebelumnya lahan ‘tidur’, kami sewa dan baru sepekan kami tanami singkong. Jenis singkongnya sesuai pesanan pabrik,” ujarnya.
Sutomo menambahkan, selain mengandung karbohidrat yang cukup dan bisa diolah beraneka makanan, singkong bahkan dapat dicampur dengan berbagai menu lain.
“Konsumsi singkong juga bisa dengan lauk-pauk, seperti saat mengonsumsi beras. Bisa dengan ikan, sayuran dan lainnya. Pokoknya makan olahan singkong tidak akan bosan,” katanya.
Lulusan Undip itu sebetulnya seorang praktisi pertanian komoditas ekspor dan UMKM yang suka bertani. Tergerak untuk ikut menguatkan ketahanan pangan, selain dirinya menanam singkong, dia juga berkampanye kepada masyarakat untuk menanam singkong.
Sutomo mampu meyakinkan para petani untuk secara massal menanam singkong, mengingat banyak lahan tidur yang bisa diberdayakan. Tak hanya sekadar mengajak petani menanam singkong, ia juga menjembatani petani dengan industri guna menjamin pembelian hasil panen mereka dengan harga pantas, bahkan di atas harga pasar.
“Selain menanam sendiri, kami juga menjembatani petani dengan industri dan perbankan untuk membantu permodalan mereka. Praktis petani yang ikut kemitraan melalui kami senang, modal kami bantu dan pada masa panen sudah ada yang membeli dengan hara pasar, berapapun jumlahnya,” tuturnya.
Selain mudah budi daya singkong itu, tutur Tomo, hasil panen petani pun sudah banyak yang berminat membelinya, bahkan industri makanan seperti pabrik pembuat keripik telah bersedia menampung dengan harga kontrak, sehingga petani merasa terjamin panenannya terjual dengan harga cukup tinggi.
Industri yang dimaksud adalah PT Boga Makmur Gracia yang memproduksi keripik singkong untuk dipasok ke berbagai industri makanan di Indonesia dan luar negeri (ekspor). Pabriknya berlokasi di Boja, Kabupaten Kendal, Jateng.
Menurutnya, kita mesti pelan-pelan tidak ketergantungan dengan beras, apalagi Indonesia memang kaya keragaman bahan pokok. ketahanan pangan nasional di masa datang juga akan menghadapi tantangan besar, dengan tingginya pertumbuhan penduduk.
“Pertumbuhan penduduk mencapai lebih dari satu persen per tahun. Kira-kira tahun 2035 sudah mencapai 300 juta lebih penduduk negeri ini, yang memerlukan sekitar 43 juta ton setara beras,” ujarnya.
Ia menambahkan, produksi beras saat ini hanya sekitar 31 juta ton, dengan pertumbuhan produksi rata-rata per tahun hanya 1% (BPS, 2020). Sedangkan peningkatan produksi beras melalui pola intensifikasi maupun ekstensifikasi (pencetakan sawah baru) juga banyak kendalanya.
“Sama halnya pencetakan sawah baru. Padahal lahan pertanian sendiri mulai digerogoti industri, sehingga satu-satunya tidak lain diperlukan bahan pangan alternative seperti singkong,” simpulnya.
Kemandirian dan kedaulatan pangan serta produksi pangan alternatif itu diyakini bisa berkembang. Tomo sengaja memilih membudidayakan singkong, ketimbang komoditas lain.(sunu)