MERCUSUAR.CO, Wonosobo – Desa Sikunang, yang terletak di wilayah yang subur dan kaya akan tradisi, memiliki sejarah desa yang menarik yang tercermin dalam asal-usul nama dan julukannya, serta perjalanan religius yang mendalam.
Asal-Usul Nama Sikunang
Nama “Sikunang” berasal dari gabungan kata “Si” yang berarti kata tunjuk, dan “Kunang” yang berarti bercahaya, merujuk pada hewan kunang-kunang. Dahulu, desa ini dikenal dengan mata air jernih yang disebut Tok Sedendang, terletak di sebelah timur Dusun Sikunang. Di sekitar mata air ini, terdapat banyak kunang-kunang yang menerangi malam seperti lampu neon. Sayangnya, mata air tersebut kini telah hilang seiring berjalannya waktu. Namun, kenangan tentang cahaya kunang-kunang yang menerangi desa tetap hidup dalam nama Sikunang, yang berarti “sesuatu yang bercahaya”.
Pendiri Desa Sikunang
Desa ini pertama kali dibuka oleh Mbah Sadrana, yang sebelum adanya kepala desa, dikenal sebagai “Ingkang Mbau Rekso” atau “Ingkang Bubak Sembung Senggeni”. Mbah Sadrana terkenal dengan ritual “Ruwat Desa” atau “Merdi Desa”, yang bertujuan memohon keselamatan, keberkahan, dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa bagi warga desa dan keturunannya. Beliau berharap Desa Sikunang menjadi desa yang Lohjiwo, Toto, Titi, Tentrem, Kertoraharjo, dan Tebih Ing Sambikolo. Dalam pelaksanaan ritual ini, warga Desa Sikunang harus memetik bunga mawar merah putih dari halaman rumah Mbah Sadrana sebagai media ritual.
Julukan “Sisinga”
Julukan “Sisinga” berasal dari gabungan tiga dusun: Sikunang, Siterus, dan Ngandam. Kata “Si” berarti kata tunjuk, sementara “Singa” merujuk pada hewan yang merajai hutan. Julukan ini menggambarkan persatuan ketiga dusun tersebut dan berarti “Yang Merajai” atau “Yang Ditakuti”. Diharapkan dengan bersatunya ketiga dusun ini, Desa Sikunang akan disegani dan berkuasa di berbagai bidang.
Masuknya Agama Islam ke Desa Sikunang
Keturunan Mbah Sadrana, termasuk Mbah Uda atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Saleh, mulai membangun Sikunang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, datanglah seorang penyiar agama Islam bernama Simbah Kyai ‘Abdulloh Sajad, atau lebih dikenal sebagai Mbah Kyai Geleg. Dalam menyebarkan ajaran Islam, Mbah Kyai Geleg dibantu oleh tiga orang ajudan: Mbah Ronggolawe, Mbah Santi, dan Mbah Walangkiki, serta seorang juru laden bernama Nyi Rantam Sari.
Pendekatan dakwah yang sederhana dan halus oleh Mbah Kyai Geleg membuat keturunan Mbah Sadrana perlahan-lahan menjadi pemeluk Islam yang taat. Untuk menunjang ibadah, dibangunlah sebuah bale atau tempat ibadah yang disebut “Langgar”, yang sekarang dikenal sebagai Masjid Besar Sikunang. Langgar menjadi pusat kegiatan keagamaan dan syi’ar Islam, menjadikan warga Desa Sikunang tidak hanya taat beragama, tetapi juga bersatu dalam menjalankan perintah agama.
Meskipun telah memeluk agama Islam, warga Desa Sikunang tetap mempertahankan adat istiadat seperti Ruwat Desa, yang diselenggarakan setiap 10 Suro, sekarang dikenal sebagai kegiatan Nyadran. Kegiatan Nyadran kini biasanya dilaksanakan ketika bulan Rewah atau Sya’ban untuk menyambut bulan Ramadhan, dan kadang menjelang hari besar Islam atau Khaul Simbah Kyai Geleg.
Menjaga Tradisi dan Keberagaman
Desa Sikunang adalah contoh nyata bagaimana tradisi dan agama dapat hidup berdampingan, memperkaya kehidupan warga dan menjaga warisan budaya. Dengan nama yang berarti “sesuatu yang bercahaya”, Desa Sikunang terus bersinar dalam sejarah dan kebudayaan lokal, menginspirasi generasi mendatang untuk menghargai dan melestarikan warisan mereka.