MERCUSUAR.CO, Wonogiri – Di Wonogiri, ada sebuah daerah yang dikenal sebagai “desa Buddha”. Nama tersebut diberikan karena sebagian besar penduduknya menganut agama Buddha.
Desa ini disebut Pijiharjo dan secara administratif terletak di Kecamatan Manyaran, sekitar satu jam perjalanan dari pusat Kabupaten Wonogiri.
Masuknya agama Buddha ke Pijiharjo
Berdasarkan penelitian Prihadi Dwi Hatmono dalam Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan (2020), diperkirakan periode 1950-1960-an menjadi masa dimana agama Buddha mulai tersebar di beberapa wilayah Wonogiri.
Pada saat itu, hutan belantara masih mendominasi sebagian besar wilayah Wonogiri, dan banyak desa yang sulit diakses atau terpencil.
Meskipun demikian, sekelompok biksu dari Jakarta di bawah pimpinan Jina Palo datang ke desa-desa terpencil dengan misi untuk mengajarkan agama Buddha. Mereka mulai membangun vihara pertama yang diberi nama Budhi Loka di Kecamatan Ngadirojo dan kemudian menyebar ke desa-desa lain, termasuk Desa Pijiharjo di Manyaran.
Menurut Ketua Umum Dua Umat Buddha Desa Pijiharjo, Muwarni, pada tahun 1968 agama Buddha sudah menjadi dominan di kawasan ini. Pada masa itu, terdapat 13 vihara yang tersebar di empat dusun seperti Dusun Jurang, Dusun Ngembang, Dusun Platar, dan Dusun Pengkol. Namun, saat ini hanya delapan vihara yang masih aktif.
Muwarni mengakui bahwa jumlah penganut agama Buddha di Desa Pijiharjo terus berkurang. Data menunjukkan bahwa hanya ada sekitar 350 kepala keluarga penganut Buddha di Kecamatan Manyaran. Meskipun jumlah tersebut masih signifikan, namun jauh berkurang dibandingkan 30 tahun yang lalu.
Beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah umat Buddha di Desa Pijiharjo, salah satunya adalah perkawinan. Banyak umat Buddha yang menikah dengan orang dari agama lain dan mengikuti ajaran pasangannya, sehingga tidak memiliki keturunan yang meneruskan agama Buddha.
Meskipun demikian, Muwarni menyatakan bahwa umat Buddha di sini masih tetap semangat dalam melaksanakan ibadah. Mereka aktif mengikuti acara puja bakti di vihara setiap malam minggu dan merayakan hari-hari besar agama Buddha. Secara positif, masyarakat lokal yang mayoritas beragama Islam hidup berdampingan tanpa menimbulkan masalah dengan umat Buddha di Desa Pijiharjo.