Sejarah Baitul Maqdis Diserbu Imigran Yahudi Zionis

Tentara Inggris memegang senapan mesin Merk Bren buatan Inggris di Baitul Maqdis pada 1 Mei 1948 (MEE)
Tentara Inggris memegang senapan mesin Merk Bren buatan Inggris di Baitul Maqdis pada 1 Mei 1948 (MEE)

MERCUSUAR.CO, – Di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Baitul-Maqdis dan Masjid al-Aqsha mengalami rekonstruksi dan diperindah. Namun, nasibnya kembali suram dan terkena bencana besar.

Pahlawan pembebas Masjid al-Aqsha, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, meninggal pada tahun 1193 M. Meskipun begitu, Dinasti Ayyubiyah tetap memegang kendali atas Baitul-Maqdis setelah kematiannya. Dinasti ini berhasil melindungi kawasan tersebut dari serangan Pasukan Salib pada masa-masa berikutnya. Pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13, kepopuleran Dinasti Ayyubiyah perlahan memudar.

Kemudian, Kesultanan Mamalik di Mesir, yang saat itu dikuasai oleh tentara budak Turki, mengambil alih kekuasaan. Selama pemerintahan Kesultanan Mamalik, minat bangsa Eropa terhadap perang Salib juga meredup, menyebabkan Baitul-Maqdis menjadi lebih aman dari serangan orang kafir.

Para sultan kemudian memiliki kesempatan untuk lebih memperhatikan fisik bangunan di Baitul-Maqdis, terutama di dalam dan sekitar Kompleks Masjid al-Aqsha. Kondisi masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam ini semakin membaik dari waktu ke waktu.

Sebuah beranda dengan barisan tiang dibangun di sisi barat Kompleks Masjid al-Aqsha, berbatasan dengan pasar-pasar kota. Kubah Batu juga mengalami renovasi, sementara kubah lainnya dan air mancur diperbaiki.

Sekolah-sekolah juga didirikan, menarik pelajar dan penuntut ilmu dari negeri-negeri jauh seperti India dan China untuk beribadah dan belajar di Masjid al-Aqsha.

Pada abad ke-16, dunia Islam tidak lagi dipimpin oleh Kesultanan Mamalik tetapi oleh Kesultanan Utsmaniyyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Pada tahun 1513, Sultan Salim I melibatkan Kesultanan Mamalik dalam peperangan.

Pada tahun 1516, Sultan Salim I muncul di luar tembok kota Baitul-Maqdis bersama pasukannya dan menerima penyerahan kunci secara damai oleh penduduk kota tersebut.

Berbagai perubahan terus terjadi di Baitul-Maqdis. Kesultanan Utsmaniyah mengirim gubernur, tentara, dan pejabat untuk mengatur kota ini.

Dalam konteks Masjid al-Aqsha, masa Utsmaniyah dimulainya era konstruksi, penataan, dan peningkatan keindahan. Putra Salim I, Suleyman al-Kauni, naik tahta pada tahun 1520. Pada masa pemerintahannya, Kubah Batu direnovasi dan diperindah.

Bagian luar bangunan dilapisi marmer, ubin-ubin berwarna-warni, dan kaligrafi. Ayat-ayat Surat Yasin dijadikan hiasan di bagian atas temboknya.

Suleyman memerintahkan pembangunan air mancur di dekat gerbang masuk utama Masjid al-Aqsha, digunakan untuk berwudhu oleh jamaah. Ia juga memerintahkan arsiteknya, Mimar Sinan, untuk membangun kembali dinding tembok sekitar Masjid al-Aqsha, yang masih bertahan hingga sekarang.

Awal Baitul-Maqdis Jadi Rebutan Inggris dan Israel Zionis

Selama berabad-abad, Baitul-Maqdis dan Masjid al-Aqsha menikmati kedamaian. Saat penguasaannya oleh kaum Muslimin, hak kebebasan beragama diberikan kepada orang Yahudi dan Kristen.

Kapal yang membawa imigran gekao Yahudi di Haifa tahun 1948
Kapal yang membawa imigran gekao Yahudi di Haifa tahun 1948

Namun, keharmonisan tersebut terganggu dengan munculnya gerakan Zionisme di Eropa yang berupaya mengubah Baitul-Maqdis dan sekitarnya menjadi negara Yahudi eksklusif. Upaya ini pertama kali diutarakan kepada Sultan Abdul Hamid II pada abad ke-19, namun ditolak mentah-mentah karena Sultan menganggap Baitul-Maqdis adalah milik seluruh umat Muslim di dunia.

Kaum Yahudi Zionis terus berusaha mencapai tujuannya, termasuk bersekutu dengan Inggris selama Perang Dunia I. Inggris merebut Baitul-Maqdis pada tahun 1917, menjadikannya kali pertama sejak zaman Shalahuddin al-Ayyubi Baitul-Maqdis jatuh ke tangan non-Muslim.

Jenderal Sir Edmund Allenby memasuki Baitul Maqdis pada 11 Desember 1917
Jenderal Sir Edmund Allenby memasuki Baitul Maqdis pada 11 Desember 1917

Meskipun tidak terjadi pembantaian massal, Inggris mendukung imigrasi besar-besaran orang Yahudi Eropa ke Palestina. Saat pasukan Inggris meninggalkan Palestina pada tahun 1948, orang Yahudi Zionis mengusir warga Muslim Arab dan mendirikan negara Israel di tanah Palestina.

Sebagian kompleks Masjid al-Aqsha dan Kubah Batu tetap di bawah kendali Muslim, dengan Yordania mengelola Baitul-Maqdis Timur dan seluruh Kompleks Masjid al-Aqsha. Namun, pada 7 Juni 1976, selama perang enam hari, pasukan Israel merebut seluruh Baitul-Maqdis dan Tepi Barat Sungai Yordan. Ini termasuk masuknya pasukan Israel ke Masjid al-Aqsha dan pengibaran bendera Israel di Kubah Batu, yang menjadi tragedi besar bagi umat Muslim.

Pada 21 Agustus 1969, seorang Kristen Australia bernama Denis Michael Rohan membakar Masjid al-Aqsha dengan harapan mempercepat kedatangan “Yesus” ke bumi. Banyak kaligrafi bersejarah hancur dalam insiden itu, termasuk Mimbar Shalahuddin.

Hingga kini, Israel terus berupaya merusak Masjid al-Aqsha, dan umat Muslim tidak dapat dengan bebas mengaksesnya untuk beribadah di bawah pendudukan. Padahal, hak tersebut seharusnya menjadi hak umat Muslim.

Pos terkait