Prasasti Jejak Kaki Pangeran Joyo Kusumo, Ingatkan Cikal Bakal dan Sejarah Banyuurip

IMG 20250217 WA0000

PURWOREJO, Mercusuar.co -Karakter dan jati diri sebuah bangsa sangat penting untuk selalu diingatkan kepada generasi penerus ditengah arus masuknya budaya asing yang terus mengancam.

Rasa prihatin akan ancaman budaya asing yang kental dengan sikap permisif, banyak membuat para pengamat dan praktisi budaya bergerak untuk mencoba menyadarkan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Radityawan, warga Dukuh Kembaran Desa Banyuuurip Kecamatan Banyuurip Kabupaten Purworejo yakni dengan nguri uri sejarah dan cikal bakal leluhurnya.

“Sesuai dengan referensi Buku Serat Babad Banyuurip, ini semacam jadi napak tilas pengingat sekaligus nguri-uri sejarah nama Desa Banyuurip.” kata Radityawan yang juga aktifis Paguyuban Macapatan Suryawasesa.
Dalam Serat Babad Banyuurip terdapat kalimat Cur Umijil Tirto Wening yakni keluarnya air bening memancar menjadi air unsur penting kehidupan warga Banyuurip.

Sejarah mencatat perjalanan Pangeran Joyo Kusumo beserta adiknya bernama Galuhwati atau Nyai Putri, tiba di sebuah tempat dan kehausan. Pangeran Joyo Kusumo menancapkan wedung (pedang pendek) di sekitar daerah Sumur Mbeji yang bernama Kiai Kuru Dalang, lalu keluar air.

Begitu ditancap keluarlah air bening, ini menjadi tanda sengkalan Angka Tahun Saka Cur = 0, Umijil = 0, Tirto = 4, Wening = 1 cara membacanya dibalik urutannya yakni tahun 1400. Kala itu belum ada huruf Jawa adanya Jawa Kuno atau Kawi, sedang dalam hitungan Masehi ada selisih 78 tahun. Jadi diterjemahkan saat itu kira-kira tahun 1478. Dan tahun ini bertepatan dengan Sandyakalaning Majapahit atau runtuhnya kekuasaan dan pengaruh Majapahit, Sirno Ilang Kertaning Bumi.

“Saya buat tetenger (tanda) dari batu Andesit bergambar pahatan Jejak kaki Kanan, dan tulisan huruf Kawi dengan harapan jadi pengingat generasi muda selalu memahami jati diri dan leluhurnya, para putra wayah tahu cikal bakal dan menjaga budaya sendiri!” buru-buru Radiyawan mengingatkan.

Kaki adalah tanda atau simbol dari perjalanan Pangeran Joyo Kusumo. Tahun 1478 ini sebagai Condro Sengkolo sesuai dengan Serat Babad Banyuurip. Tempat ditancapkannya wedung itu kini dikenal dengan Sumur Mbeji yang airnya tak pernah kering meski saat musim kemarau panjang.

“Kalau dari beberapa batu yang ditemukan di sini sangat mungkin tempat warga jaman dahulu melakukan aktifitas cuci mandi dan bersih diri.” tambahnya.

Rencananya jalan yang mengarah ke Sumur Mbeji setelah jembatan akan dibangun sebuah gapura dengan bentukan yang mirip seperti yang pernah dibangun jaman Majapahit. Batu bata ekspose tanpa pelur semen menjadi ciri khas ornamen bangunan gaya Majaphit.

Pengurus Paguyuban Macapatan Suryawasesa, menjadi motor penggerak untuk nguri uri budaya dan jati diri yang diturunkan leluhur dari jaman dulu.

“Setia Malam Minggu Kliwon kami bergilir Gladen dari rumah ke rumah melantunkan macapat dari Serat Babad Banuurip yang didalamnya terdiri dari beberapa pupuh tembang seperti Dandang Gulo, Asmarandana, Megatruh, Sinom, per bait kami artikan supaya paham isi dan pesan moralnya. “ kata Ketua Paguyuban Macapatan, Suryawisesa, Witoyo menambahkan.

Suryawisesa yang konsisten sejak dibentuk 5 tahun lalu menjadi penjaga budaya leluhur Banyuurip ini mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Pemdes dan warga yang berdarah leluhur Banyuurip sore itu berdatangan bersama tokoh seniman dan budaya, bergerak ke Sumur Mbeji untuk memasang prasasti, Sabtu (15/2).

“Kami siap untuk mengedukasi bersama sama adik-adik generasi muda yang masih bersekolah akan budaya dan sejarah yang lekat dengan local wisdom di sini.” tambah Radityawan.

Konon aktifitas seni dan kegiatan produktif seperti membatik kain cita dengan corak dan motif khas Banyuurip sempat eksis namun hilang ditelan jaman. Ini juga menjadi keprihatinan dan ironisme tersendiri.

Witoyo, mengisahkan bahwa air keluar sangat jernih bagaikan kaca. Galuhwati girang tak terkirakan. Dia segera mandi dan minum air itu.

Disebutkan, Pangeran Joyo Kusumo berbicara pelan kepada adiknya. “Saya sebut sumur itu, namanya sumur MBeji.

Sesampainya di permukiman, sudah banyak orang dari kiri kanan bertandang. Muda, tua, besar dan kecil. Mereka memberi hidangan dan makanan kecil.

Pangeran Joyo Kusumo berbicara pelan kepada semua orang. “Hai, sepakatilah. Desa ini saya sebut Banyuurip. Kalau air sangat langka, nanti sepanjang jurang, sejauh sepelemparan ada air. Itu, kalian semua jadilah saksi.”

Setelah meletakkan prasasti di sumur Mbeji, para awak media dan tokoh masyarakat dijamu makan dan minum di rumah Radityawan yang kental bergaya seni Jawa, lengkap dengan ornamen kayu tua nan artistik. Aneka kudapan seperti Gudhangan (sayuran dicampur telur rebus dan sambal dari kelapa), Ingkung Ayam Kampung, Mie beraroma Brambang Goreng, Jangan Kenthang, Rempeyek Kacang, Tempe Goreng, Bubur Abang Putih dan Minuman Teh Tubruk.(agam)

Pos terkait