MERCUSAUR.CO, Bogor- Kondisi pasar rakyat kian memprihatinkan. Selain tertekan karena imbas pandemi, kondisi sektor penggerakan ekonomi kerakyatan tersebut kian parah dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2021 yang dinilai tidak berpihak pada keberadaan pasar dan pedagang rakyat.
Dia mencontohkan, nilai transaksi komoditas bahan pokok hanya menyisakan sekitar 40-60 persen.
Sementara, untuk komoditi nonesensial, yakni komoditas fesyen dan kelompoknya, tersisa 10-30 persen.
“Akibatnya, ada pasar di Jawa Barat tinggal 17 persen yang masih beroperasi dari jumlah kios sebelumnya yang beroperasi sebanyak 2.500 kios, atau hanya sekitar 459 kios,” katanya.
Kondisi tersebut diperparah dengan terbitnya Peratur an Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2021, tentang Pedoman Pengembang an, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan.
Ketua DPW Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Jawa Barat Nandang Sudrajat mengatakan, akibat pandemi nilai transaksi di pasar tradisional terjun bebas. Bahkan, dikatakan Nandang, merupakan yang terendah dalam 50 tahun terakhir.
Peraturan tersebut, menurut Nandang, tidak berpihak pada keberadaan dan kepentingan pasar dan pedagang pasar rakyat.
Ia mengemukakan, terdapat beberapa substansi dalam peraturan tersebut yang merugikan pasar dan pedagang pasar antara lain Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5.
Dikemukakan Nandang, dalam ketentuan pada pasal tersebut diketahui bahwa lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan toko swalayan mengacu pada rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota atau rencana detail tata ruang kabupaten/kota.
“Itu artinya, sama dengan memberikan kesempatan yang luas ke ritel modern men dirikan tempat usahanya karena bersandar pada RTRW,” katanya.
Selain itu, kata Nandang, hal yang akan paling merugikan adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan, kewenangannya diberi kan ke daerah.
Padahal, berdasarkan pengalaman, justru titik lemah selama ini ada di pemerintah daerah.
“Pemkab dan pemkot yang dengan seenaknya mengizinkan ritel modern berdiri di samping kiri kanan, depan, dan belakang pasar. Bahkan, sampai perumahan yang akhir nya mematikan warung rumahan,” katanya.
Berdasarkan hal tersebut, Nandang menegaskan, DPW APPSI Jabar mendesak Menteri Perdagangan mencabut kembali Permendag Nomor 23 Tahun 202.
Hal itu mendesak demi kepentingan stabilitas sosial ekonomi di tengah masyarakat. Dia pun menyinggung, judul peraturan yang tidak memunculkan adanya keinginan untuk melakukan pembinaan terhadap pasar rakyat.
Hal itu, menurut dia sebagai ironi dan merupakan penghinaan terhadap Pasal 33 UUD 1945.
“Dengan demikian, kami tidak salah kalau beranggapan bahwa pasar rakyat memang sengaja dibonsai keberadaannya, sekadar sebagai penggugur kewajiban, bukan untuk mendorong kesejahteraan rakyat, khususnya pedagang pasar,” kata Nandang.