Nokrus Roastery: Pionir Kopi Wonosobo dari Slukatan

Salah satu anak Mundlorun, Ikhlas sedang memproduksi kopi di Nokrus Roastery yang berada di Jalan Jawar, Blederan, Mojotengah, Wonosobo.
Salah satu anak Mundlorun, Ikhlas sedang memproduksi kopi di Nokrus Roastery yang berada di Jalan Jawar, Blederan, Mojotengah, Wonosobo.

MERCUSUAR.CO, Wonosobo Siapa yang tak menyukai kopi? Minuman yang nikmat saat dinikmati di pagi hari ini menjadi favorit banyak orang. Di Wonosobo, Kopi Slukatan hadir menjadi salah satu pionir kopi yang menghadirkan kenikmatan lewat sejarahnya.

Pada tahun 1987 Kabupaten Wonosobo mendapatkan dukungan dari Provinsi Jawa Tengah dalam upaya penghijauan lahan pertanian. Bantuan tersebut berupa benih kopi varietas Arabika tipe Lini S. Wonosobo yang pada awalnya didominasi oleh petani sayur-mayur, kemudian diarahkan untuk beralih menanam kopi sebagai bentuk konservasi dan investasi dalam pertanian jangka panjang yang memiliki nilai tambah.

Mojotengah kemudian dipilih sebagai lokasi penanaman kopi karena dianggap memiliki potensi yang tinggi, terutama dengan ketinggian di atas 1000 mdpl.

Beberapa daerah yang termasuk dalam pilihan tersebut antara lain Slukatan, Bismo, Wonokromo, Dero Duwur, dan Dero Ngisor.

Melalui perjuangan Muhdlorun dan usahanya yang gigih, beliau berhasil mengajak para petani untuk terlibat dalam menanam kopi melalui kelompok tani ‘Ngudi Tuwuh’. Bersama-sama dengan para petani, mereka memulai penanaman kopi secara tumpang sari.

“Awalnya memang sulit untuk memberikan edukasi kepada para petani agar mereka mau beralih dari menanam sayur-mayur ke menanam kopi. Namun, almarhum Bapak bersama dengan kelompok tani Ngudi Tuwuh berhasil memulai langkah untuk menanam kopi, meskipun awalnya petani sudah terbiasa dengan menanam sayur-mayur.” Ungkap Muhammad Sukron, pemilik Nokrus Roastery yang merupakan salah satu anaknya Muhdlorun yang meneruskan usaha pengolahan kopi.

Mengenalkan Kopi Wonosobo

Perjuangan tersebut mulai membuahkan hasil dengan panen pertama pada tahun 1991. Namun, kendala muncul ketika produksi meningkat namun pasar belum terbentuk.

Pada tahun yang sama, Muhdlorun mulai mencari cara untuk menjual hasil produksi kopi yang sudah melimpah. Melalui jejaring komunitas dan pertemanan, beliau bekerja sama dengan salah satu pabrik di Salatiga, dengan pengiriman pertama mencapai 100 ton kopi basah (setengah jadi).

Pos terkait