INTERNASIONAL, Mercusuar.co – Serangan udara Israel yang menargetkan pejabat senior Hamas di Doha, Qatar, pada 9 September 2025, telah secara dramatis memperluas konflik Gaza ke panggung internasional.
Tindakan militer yang menyasar para negosiator kunci Hamas ini tidak hanya menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya, tetapi juga memicu kecaman keras dari berbagai negara dan secara efektif menghentikan perundingan gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar.
Serangan di jantung diplomatik Teluk ini menandai eskalasi besar dalam perang yang telah berlangsung lebih dari setahun, mendorong ketegangan regional ke tingkat yang sangat berbahaya.
Serangan tersebut, yang disebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai operasi presisi untuk menghilangkan ancaman, menewaskan tiga negosiator Hamas dan melukai beberapa lainnya di kawasan elit West Bay, Doha, menurut pejabat Qatar dan sumber Hamas. Aksi ini menghancurkan pembicaraan gencatan senjata yang rapuh dalam perang Gaza yang kini memasuki tahun kedua, mendorong Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menyebutnya sebagai “terorisme negara” yang telah “mematikan harapan” untuk membebaskan sandera Israel yang masih ditahan Hamas.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menargetkan pertemuan kepemimpinan politik Hamas, termasuk anggota tim negosiasi gencatan senjata, menggunakan jet tempur siluman F-35 untuk serangan ketinggian rendah sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Sasaran adalah kompleks perumahan di distrik diplomatik Doha, jauh dari zona konflik. Serangan ini melewati sistem pertahanan rudal Patriot buatan AS milik Qatar, yang menurut pejabat Qatar dinonaktifkan dari jarak jauh tanpa pemberitahuan. Tidak ada warga sipil Qatar yang dilaporkan tewas, namun ledakan merusak properti sekitar dan mengganggu negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas. Israel membenarkan serangan tersebut sebagai pembalasan atas penembakan 8 September di Yerusalem yang diklaim Hamas, yang menewaskan dua pemukim Israel, serta bagian dari misi untuk membongkar kepemimpinan Hamas setelah serangan 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 warga Israel dan menyandera 251 orang.
Konflik Gaza meningkat tajam sejak serangan Hamas pada Oktober 2023, yang memicu invasi Israel ke Gaza, menewaskan lebih dari 41.000 warga Palestina menurut otoritas kesehatan Gaza. Qatar, sekutu AS yang menampung Pangkalan Udara Al Udeid, telah menjadi perantara kunci sejak 2012, menampung kantor politik Hamas atas permintaan AS untuk memfasilitasi bantuan dan negosiasi sandera. Ketegangan memuncak setelah penembakan di Yerusalem, mendorong Netanyahu mengesahkan operasi Doha meskipun ada peringatan dari Washington. Jet Israel lepas landas dari pangkalan di Israel selatan, melintasi wilayah udara Saudi tanpa hambatan, dan menyerang target dalam hitungan menit. Ledakan mengguncang Doha, dengan layanan darurat Qatar bergegas ke lokasi. Pada tengah hari, Hamas bersumpah akan membalas dendam, Qatar menutup wilayah udaranya untuk penerbangan Israel, dan memanggil duta besar AS untuk protes.
Netanyahu menyatakan Hamas menggunakan Qatar sebagai “tempat perlindungan aman untuk merencanakan serangan” sambil berpura-pura bernegosiasi damai. “Kami tidak akan membiarkan dalang serangan 7 Oktober bersembunyi di balik kekebalan diplomatik,” katanya dalam pidato televisi, menghubungkan serangan ini dengan penembakan Yerusalem dan janji pembebasan sandera yang tidak terpenuhi. Pejabat Israel menyebut dukungan finansial Qatar untuk Hamas, yang diperkirakan mencapai $1,8 miliar per tahun, membuat Doha turut bertanggung jawab atas terorisme. Namun, diplomat AS dan Arab menilai serangan ini sebagai sabotase sengaja terhadap upaya gencatan senjata, terutama saat Presiden AS Donald Trump mendorong kesepakatan untuk membebaskan 48 sandera yang tersisa, 20 di antaranya diyakini masih hidup.
Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, dalam wawancara dengan CNN, menyebut serangan itu sebagai “pelanggaran kedaulatan yang nyata” dan menuduh Israel merusak mediasi: “Netanyahu telah mematikan harapan untuk mengembalikan sandera.” Dalam sesi darurat Dewan Keamanan PBB pada 11 September, ia mendesak sanksi, menyatakan Israel telah “melampaui batas.” Juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri menyebut serangan itu sebagai “upaya pembunuhan untuk menggagalkan pembicaraan,” mengklaim para pemimpin yang diserang sedang meninjau proposal AS untuk gencatan senjata bertahap dan pertukaran sandera. Trump, yang pemerintahannya memfasilitasi kesepakatan Qatar sebelumnya, menyatakan kemarahan kepada pembantunya, menyebut serangan ini kemunduran bagi tujuan perdamaian regionalnya: “Ini tidak akan terjadi lagi,” katanya kepada Netanyahu dalam panggilan telepon, menurut pejabat Gedung Putih. Utusan China untuk PBB Fu Cong mengutuk serangan itu sebagai “pelanggaran nyata hukum internasional,” sejalan dengan negara-negara Arab. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak de-eskalasi, merujuk pada resolusi tidak mengikat PBB yang menuntut penghentian tindakan ekstrateritorial.
Hingga 12 September 2025, tiga kematian Hamas dikonfirmasi dengan lima orang terluka, menurut kementerian kesehatan Qatar; Israel mengklaim tidak ada korban sipil. Bandara Internasional Doha kembali beroperasi sebagian setelah penutupan 24 jam, tetapi Qatar mengusir tiga diplomat Israel dan membekukan aset terkait aktivitas pemukiman. Hamas membalas dengan menembakkan roket dari Gaza, menewaskan dua orang di Israel selatan, sementara pemberontak Houthi di Yaman menyerang kapal Israel di Laut Merah. Sistem pertahanan THAAD AS, yang dijual ke Qatar seharga $42 miliar, gagal mencegat serangan karena dugaan penonaktifan jarak jauh oleh AS, memicu spekulasi di media sosial. Netanyahu, dalam wawancara CBS, menegaskan kemungkinan serangan lanjutan jika Hamas menolak negosiasi: “Kami bertindak untuk melindungi rakyat kami.” Pasar global merosot, dengan harga minyak naik 3% karena kekhawatiran ketidakstabilan di Teluk.
Ke depan, serangan ini mengancam peran mediasi Qatar, berpotensi memindahkan pembicaraan ke Mesir atau Turki dan memperpanjang konflik Gaza hingga 2026. Analis memprediksi ketegangan AS-Israel yang meningkat di bawah Trump, kemungkinan boikot Teluk terhadap perusahaan teknologi Israel, dan serangan oleh kelompok-kelompok yang didukung Iran. Jika sandera tidak dibebaskan, tekanan domestik dapat mendorong Netanyahu menuju pemilu, sementara Qatar mungkin memperkuat hubungan dengan Rusia atau China untuk pertahanan, mengurangi pengaruh AS di kawasan. Gencatan senjata yang lebih luas kini tampak jauh, dengan para ahli memperingatkan munculnya “fase baru” dalam perang bayangan di Timur Tengah. [dm]