Inovatif dan Estetis, Yatno Angkat Derajat Bundengan ke Panggung Nasional dan Internasional

IMG 20250408 WA0003 scaled

Mercusuar.co, WONOSOBO – Di tengah geliat pelestarian seni tradisional, Yatno, seorang pengrajin bundengan asal Desa Lamuk, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menunjukkan dedikasinya dalam mengembangkan alat musik tradisional khas Banyumas tersebut dengan sentuhan inovatif dan estetika modern.

Perjalanan Yatno sebagai pengrajin bundengan dimulai sekitar tahun 2016. Ia pertama kali diperkenalkan dengan bundengan oleh Bu Mulyani, seorang seniman tari yang juga pelestari seni tradisi. Berbekal referensi visual dari sang seniman, Yatno mencoba membuat bundengan meskipun hasil awalnya belum sempurna.

IMG 20250408 WA0004 scaled

Untuk memperdalam keterampilannya, Yatno kemudian berguru langsung kepada Mbah Mahrumi, seorang ahli pembuat bundengan di Wonosobo. Selama kurang lebih tiga hari, ia mempelajari teknik pembuatan bundengan secara intensif.

“Setelah belajar dengan Mbah Mahrumi, saya mulai bisa membuat bundengan sendiri dengan bentuk yang mendekati hasil karya beliau,” ujarnya pada wartawan Mercusuar.co saat ditemui pada, Selasa (8/4/2025).

IMG 20250408 WA0002 scaledBundengan buatan Yatno memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari model-model lama. Ia merancang bundengan dengan desain yang lebih halus dan modern, serta memberikan sentuhan akhir berupa lapisan pernis untuk tampilan yang lebih bersih dan mengkilap. Menurut Yatno, tampilan bundengan yang rapi akan membuatnya tampak lebih serasi ketika dipadukan dengan alat musik lain di atas panggung.

Dalam hal bahan, Yatno memilih menggunakan bambu wulung (bambu hitam) alih-alih bambu putih seperti umumnya. Pilihan ini memberi kesan kontras warna yang unik dan estetik. Atap bundengan, yang biasanya dibuat dari slumpring atau pelepah bambu, juga diganti dengan bambu kupas agar tampil lebih cerah dan menarik.

Proses pembuatan bundengan tidaklah mudah. Diawali dengan memotong bambu berbentuk panjang, kemudian dikupas dan dianyam membentuk badan bundengan. Penutup atap dibuat dari bambu kupas yang dicuci dan dibersihkan, lalu diikat menggunakan tali ijuk. Tahap akhir adalah proses pemernisan untuk menghasilkan tampilan yang mengkilap. “Waktu pengerjaannya bisa enam sampai tujuh kali lebih lama dibanding bundengan biasa. Jika tanpa gangguan, satu bundengan bisa selesai dalam waktu sekitar satu minggu,” jelasnya.

Bundengan karya Yatno kini telah dipasarkan ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Solo. Bahkan, beberapa di antaranya telah menembus pasar luar negeri berkat kerja sama dengan Bu Mulyani. “Beliau adalah pelanggan tetap saya di Wonosobo. Beliau punya semangat luar biasa dalam melestarikan bundengan dan musik tradisional,” kata Yatno.

Untuk satu bundengan dengan kualitas halus dan finishing mengkilap, harga yang ditawarkan sekitar Rp1.500.000. Harga tersebut mencakup bundengan lengkap dengan alat musik di dalamnya, hasil dari proses pengerjaan yang teliti dan penuh dedikasi.

Yatno berharap, generasi muda dapat lebih tertarik pada bundengan dan turut melestarikan alat musik ini. “Saya ingin anak-anak muda bisa berinovasi, mengembangkan bundengan agar bisa berkolaborasi dengan berbagai genre musik. Dengan begitu, bundengan bisa tetap hidup dan terus berkembang di masa depan,” pungkasnya.

Melalui tangan-tangan kreatif seperti Yatno, bundengan tidak hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga karya seni yang terus bertransformasi mengikuti zaman.(Gen)

Pos terkait