Imtihan Jelang Akhir Tahun , Ujian Kiai, Santri, Dan Pesantren

fa3d0996 0ab8 43d2 afc0 7b94338e9d68

Menjelang peringatan Hari Santri Nasional – beberapa hari terakhir ini kami pengurus MWC NU secara periodik melaksanakan persiapan peringatan hari Santri tahun 2025 yang akan diselenggarakan di desa Patakbanteng kecamatan kejajar dengan mengusung tema “Mengawal Kemerdekaan Indonesia, Menuju Peradaban Dunia”, dengan mengundang narasuumber Gus Taj Yasin dan Cak Islah Bahrowi yang dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Nasional yang dengan tegas menantang gerakan Wahabisme-Salafisme atau intoleranisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama, saat saat sedang disibukkan dengan segala persiapan khidmat tersebut kami dikagetkan dengan beberapa ujian berat bagi dunia pesantren dan umat Islam Indonesia—kita justru disuguhi dua peristiwa yang melukai hati: tragedi di Pesantren Al-khoziny dan tayangan televisi yang mendiskreditkan Romo Kiai KH. Anwar Manshur dari Lirboyo yang juga Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Dua peristiwa ini, meski berbeda bentuk, memiliki benang merah yang sama: ujian terhadap marwah pesantren, kiai, dan santri di tengah derasnya arus opini publik dan kepentingan eksternal yang kian kompleks.
Sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, kami memandang pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan keagamaan. Ia adalah benteng peradaban yang bisa sangat kental mewarnai peradaban dunia, tempat lahirnya ilmu, adab, dan keikhlasan. Pesantren mengajarkan keseimbangan antara dzikir dan pikir, antara ilmu dan amal. Ketika dunia semakin materialistik , serba instan dan banyak yang menghalalkan segala cara , pesantren tetap teguh menanamkan nilai kesabaran, kejujuran, dan pengabdian. Maka ketika kiai dan pesantren diserang, yang terluka bukan hanya institusi keagamaan, melainkan nurani bangsa itu sendiri.
Tayangan di salah satu stasiun televisi nasional yang menampilkan narasi tendensius terhadap KH. Anwar Manshur adalah bentuk nyata dari krisis adab di ruang media. Bagaimana mungkin sosok sepuh yang hidup sederhana, mengajar dengan penuh kasih, dituduh dengan narasi yang merendahkan? Ini bukan sekadar “salah tayang”, tetapi penghinaan terhadap simbol moral bangsa. Media semestinya menjadi sarana pencerahan, bukan alat framing yang merusak kehormatan seseorang dan lembaga keagamaan.
Kami tidak anti kritik, bahkan pesantren adalah ruang yang subur bagi perdebatan ilmiah dan dialektika pemikiran. Namun, kritik tanpa adab hanyalah kesombongan intelektual. Media massa seharusnya belajar memahami kultur pesantren—kultur yang menjunjung tinggi adab sebelum ilmu, akhlak sebelum wacana. Kiai bukan hanya pengajar agama; beliau penjaga moral publik, penuntun spiritual yang membimbing masyarakat melewati derasnya gelombang modernitas.
Tragedi di Pesantren Al-khoziny yang sering disalahmaknai oleh pihak yang yang tidak paham kultur pesantren dan penghinaan terhadap KH. Anwar Manshur harus dibaca dalam konteks yang sama: ada upaya sistematis dari sebagian pihak untuk melemahkan otoritas moral pesantren. Padahal, ketika negara ini krisis integritas, pesantren justru hadir sebagai oase yang menumbuhkan generasi berjiwa kuat dan berhati bersih.
Kami menyerukan kepada semua pihak, terutama insan media, agar lebih arif dan memahami ekosistem pesantren secara mendalam sebelum membuat narasi. Jangan menilai dari kacamata sensasionalisme dan asal viral. Pahami bahwa pesantren memiliki kurikulum khas yang telah terbukti melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa sosial tinggi—bukan generasi yang mempertuhankan materi dan popularitas.
Kepada lembaga penyiaran, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia, ini ujian bagi kredibilitas Anda. Dunia pesantren tidak meminta istimewa, hanya meminta keadilan dan penghormatan yang layak. Permintaan maaf saja tidak cukup; harus ada langkah nyata, evaluasi sistem, dan komitmen untuk menayangkan narasi yang berimbang tentang pesantren dan para kiai.
Dan bagi kami, para santri dan kader Nahdlatul Ulama, inilah saatnya memperkuat barisan. Jangan terprovokasi oleh narasi yang menyesatkan. Kita jawab penghinaan dengan ketulusan, kita lawan fitnah dengan karya, dan kita jaga marwah pesantren dengan adab. Sebab ujian bagi kiai, santri, dan pesantren bukan untuk melemahkan, tetapi juga untuk menyadarkan kepada semua pihak bahwa pesantren se;lalu meneguhkan warisan adab dan keilmuan Islam Nusantara akan tetap kokoh, seteguh doa para kiai yang tak pernah padam.
Oleh: Tafrihan, Ketua Lakpesdam MWC NU Kejajar

Pos terkait