MERCUSUAR.CO, Yogyakarta – Gaya komunikasi Menteri Sosial, Tri Rismaharini atau Risma yang kembali menampilkan karakter marah-marah justru membuat publik tidak simpati.
Pengamat politik Bambang Arianto, gaya komunikasi marah-marah Risma yang berulang-ulang, kerap menimbulkan dugaan seperti sebuah kesenganjaan untuk menarik simpati publik.
“Memang kita akui bahwa diawal-awal era reformasi, gaya komunikasi marah-marah Risma tentu akan mendapat banyak simpati publik,” kata Peneliti media sosial Institute for Digital Democracy (IDD) ini.
“Sebab, kala itu memang kita sulit menemukan pemimpin atau pejabat publik yang berani tegas, apalagi berani memarahi bawahannya ketika melakukan kesalahan di depan umum,” kata Bambang.
Namun, dengan konteks kekinian tentu sangat berbeda, apalagi dengan makin pentingnya media sosial dalam kehidupan masyarakat, membuat setiap orang akan cepat menerima informasi tersebut.
“Bayangkan saja, bila setiap saat orang disuguhi video marah-marah secara berulang-ulang kali, tentu akan membuat bosan dan semakin membuat publik tidak bersimpati,” kata Bambang.
Dampak negatif lainnya tentu gaya marah-marah ini bisa menjadi bumerang bagi masa depan politik Risma ke depan.
“Sebab di era media sosial, konten marah-marah ini akan bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk dikemas menjadi konten negatif dengan tujuan menjatuhkan nama baiknya,” kata Bambang.
Akan lebih bijak, kata Bambang, Risma juga mendengar masukan para peneliti atau pengamat untuk berani menurunkan tensi marah-marahnya didepan umum.
“Sebab bagaimanapun masyarakat Indonesia memiliki karakter yang masih taat dengan nilai-nilai sosial seperti selalu berempati dan saling menghargai orang lain. Artinya, kalau bisa dibicarakan baik-baik mengapa harus marah-marah,” tandasnya.