Mercusuar.co, Solo – Secara historis makanan Jenang sudah melekat pada kehidupan masyarakat Nusantara atau Indonesia ini pada era Kerajaan Kerajaan di seluruh Indonesia yang memiliki nilai “Ritual dan Kesejahteraan” Masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa sering secara sosiologis disebut HOMO SYMBOLICUM yaitu suatu masyarakat yang suka memberi makna dalam suatu kegiatannya atau peristiwa penting dengan nama dan maknanya secara philosophis.
Jenang telah tercatat dalam kitab kuno Serat Tatacara tulisan Ki Padmasusastra, 1893. Sebagai simbol kehidupan, jenang disajikan disertai doa dan harapan untuk keselamatan. Contoh upacara perkawinan dengan memasang Janur dll, termasuk Sesaji berupa aneka makanan yaitu jenang dengan nama2 dan makna, wadahnya ( Takir, Sudi ) dll yang memiliki makna philosopis symbolicum pula.
Setiap suku bangsa di Nusantara ini memiliki jenis makanan yang teksturnya halus dan cair yang disebut sebagai jenang. Walaupun setiap daerah memberinya nama-nama yang berbeda tetapi esensinya tetap sama yaitu porridge (jenang/bubur).
Jenang masih lestari sampai sekarang serta memiliki filosofi dan melekat dalam upacara dan tatacara siklus hidup manusia. Bagi bangsa lain, porridge hanya bermakna makanan dari tepung yang halus dan cair. Tetapi, bagi bangsa di Nusantara jenang punya makna simbolik.
Khususnya di budaya Jawa, mulai dari kelahiran sampai perkawinan dan selamatan selalu hadir makanan jenis yang satu ini. Sebelum kelahiran anak sudah dibuatkan jenang abor-abor dan jenang procotan.
Ketika sudah hadir dalam kehidupan dan saat memetri hari kelahiran (wetonan) dalam budaya Jawa dikenal jenang sengkala yang berwarna merah putih yang filosofinya agar manusia senantiasa terhindar dari segala marabahaya.
“Festival Jenang Solo 2023” dilaksanakan dalam rangka HUT Kota Solo ke-278 dan Mangayubagya Jumenengan KGPAA Mangkunegoro X. Adapun tema yang diangkat adalah “Pusaka Rasa Nusantara”.
Tema ini merupakan bentuk komitmen dari Yayasan Jenang Indonesia dalam melestarikan dan mempopulerkan makanan tradisional khususnya Jenang atau bubur dari seluruh wilayah di Indonesia. Sebagai “Pusaka” dalam ketahan pangan di setiap daerah di Indonesia yang lestari hingga saat ini, melewati berbagai peradaban kehidupan, tantangan paceklik pangan, namun eksistensinya tetap menjadi penyelamat asupan dalam kehidupan manusia. Dengan cita rasa dan nilai filosofis di dalamnya. Maka tidaklah berlebihan jika Jenang atau bubur ini merupakan Pusaka Rasa Nusantara.