Mercusuar.co, Purbalingga – Dalam situasi dan kondisi seperti apapun, sesungguhnya seniman dituntut untuk tetap berkarya, meskipun secara minimal. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Kesenian Purbalingga (DKP) Trisnanto usai pagelaran Wayang Kleang di sanggar seni Trisnanto Budidoyo, Sabtu (30/3/2024).
“Tidak semua pertunjukan harus berbiaya mahal. Tapi bagaimana seniman harus bisa mensiasati agar eksistensi tetap terjaga, walau berbiaya seminim mungkin,” ungkap Trisnanto.
Wayang Kleang sendiri merupakan pertunjukan wayang kreasi baru karya Ki Tejo Asmoro selaku dalang yang berkeinginan tetap eksis walau dengan cara paling sederhana sekalipun.
“Pementasan ini sangat sederhana, cukup dilakukan di sebuah ruangan tanpa hiruk pikuk penonton yang berjubel. Namun pada nantinya penonton bisa datang dari mana saja, yakni penonton yang cukup menyaksikan pertunjukan melalui kanal
YouTube dan media sosial lainnya,” terang ketua DKP.
Hal ini menurutnya, merupakan siasat terbaik untuk tetap menjaga eksistensi DKP yang harus tetap melaksanakan tugas pelayanan terhadap pelaku seni yang menginginkan terjadinya gelar karya.
“DKP hanya memiliki anggaran yang sangat terbatas. Sedang untuk selalu memberikan ruang pertunjukan terhadap seniman adalah sebuah keniscayaan. Jadi kami harus berani improvisasi,” ujarnya.
Disampaikan, pada pagelaran bertajuk Ngaji Budaya DKP menyajikan baca puisi dari komunitas Katasapa, pentas monolog dari sanggar Trisnanto Budidoyo, dan diakhiri dengan pentas Wayang Kleang oleh dalang Tejo Asmoro dari Dindikbud Purbalingga.
Wayang Kleang
Tejo Asmoro selaku kreator Wayang Kleang mengatakan, Wayang Kleang merupakan pertunjukan wayang durasi pendek tanpa menggunakan wayang kulit sebagai pendukung cerita dan gamelan sebagai musiknya. Melainkan menggunakan daun (Kleang) sebagai properti wayang dan bedug sebagai ilustrasi musiknya.
“Seniman dalam berkarya tidak harus dalam bentuk sarana dan prasarana yang lebih, tapi dengan apa yang ada kita tetap bisa berkesenian dan berkarya. Dalam karya saya lebih pada isi cerita yang saya suguhkan, tapi tidak mengurangi nilai dari kaidah kesenian,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan, pada jaman serba digital, seniman juga harus menjadikan media modern bernama kamera dan gadget serta medsos sebagai media kesenian dan pertunjukan. Karena di media tersebut semua pertunjukan akan mudah disaksikan okeh berbagai kalangan masyarakat.
“Sekarang misi saya yang utama adalah bagaimana wayang bisa diterima di segala umur, semua kalangan, tanpa batasan,” tandasnya.
Disamping itu, satu cara sederhana yang dilakukan dalam mementaskan Wayang kleang, pegawai Dindikbud Purbalingga ini menggunakan bahasa keseharian, bahasa ibu, bahasa yang mudah dicerna penonton.
“Alur cerita tetap seagaimana pakem, hanya saja saya tidak menggunakan bahasa sebagaimana pertunjukan wayang yang sebenarnya. Di sini kami bercerita tentang lahir dan matinya Adipati Karena dalam lakon Banjaran Karna,” pungkasnya.(Angga)