Diskusi Historia Perwira #1 : Ragam Sejarah di Purbalingga Menarik dari Masa ke Masa

IMG 20220314 WA0021

Mercusuar.co, Purbalingga – Mencoba mengulik sejarah peradaban manusia di Kabupaten Purbalingga saat ini, tentu akan menemukan banyak catatan dari jaman ke jaman yang menarik untuk diperbincangkan. Hal demikian menjadi topik besar dalam Diskusi Historia Perwira #1: Ragam Sejarah di Purbalingga.

“Ini diskusi seri #1 yang dilaksanakan oleh Historia Perwira. Untuk yang pertama, kita memberikan gambaran sejarah Purbalingga sejak Jaman Purbakala hingga Perang Kemerdekaan yang ternyata kaya akan cerita,” ujar founder Historia Perwira, Gunanto Eko Saputro saat membuka diskusi sejarah di Kedai Pojok, Purbalingga, Minggu (13/3/2022) malam.

Gunanto mengatakan, sejarah yang terjadi pra Purbalingga dibagi menjadi lima bagian, yaitu,  Jaman Purbakala, Era Hindu-Budha, Islam,  Masa Kolonialisasi Belanda, sampai Perjuangan Kemerdekaan.

“Kita memiliki catatan menarik dari setiap masa tersebut,” kata Gunanto.

Purbalingga mempunyai Situs Tipar di Desa Ponjen, Kecamatan Karanganyar. Situs ini menandai adanya kegiatan perbengkelan di masa purba.  “Prof Harry Truman Simanjuntak ‘Bapak Arkeologi Indonesia’ pernah melakukan penelitian terhadap situs ini pada ada tahun 1983 dan masuk dalam Atlas Pra Sejarah Nasional sejajar dengan situs purbakala lainnya,  seperti Sangiran dan Trinil. Ada pula menhir di Desa Dagan, punden berundak di Situs Bandingan, Karangjambu juga temuan fosil geraham Stegodon (gajah purba) di Desa Onje,” ungkapnya.

Kemudian, ditemukannya Prasasti Batu Tulis Cipaku di Desa Cpaku Kecamatan Mrebet, dan Prasasti Bukateja di Kecamatan Bukateja menjadi tanda pra Purbalingga juga mengalami masa peradaban Hindu-Buda.

“Ini artefak menarik, Prasasti Bukateja terbuat dari lempengan emas. Sayangnya saat ini tersimpan di Leiden, Belanda,” lanjutnya.

Kemudian, jika menilik sejarah pra Purbalingga dalam kaitannya dengan terbentuknya pemerintahan,  jauh sebelum berdirinya Kadipanten Onje sudah berdiri terlebih dahulu Kadipaten atau terahir yang populer disebut Kademangan Wirasaba. Kadipaten Wirasaba yang berdiri sejak jaman kekuasaan Majapahit hingga jatuh ke tangan Pajang dan berahir di jaman Mataram, Wirasaba menjadi induk dari lahirnya Banyumas Raya.

“Saya berandai jika saat itu tidak terjadi Peristiwa Mrapat yang mengakhiri kejayaan Wirasaba, maka budaya ‘panginyongan’ sekarang namanya bukan ‘Banyumasan’ tetapi ‘Wirasaban’,” katanya.

Beralih ke jaman kejayaan Islam di Tanah Jawa, Perdikan Cahyana yang kini berada di Kecamatan Karangmoncol merupakan Perdikan  yang  dibebaskan dari tanggungan pajak atau upeti oleh Kasultanan Demak yang merupakan imperium Islam pertama di Pulau Jawa.

“Syech Wali Perkasa, Generasi ke 4 Cahyana mendapat Surat Kekancingan dari Raden Patah yang menyatakan wilayah Cahyana bebas pajak. Karena Syeh Wali  Perkasa andil dalam pembangunan masjid Demak,” jelasnya.

Sedang di masa penjajahan Belanda, menurut Kabid Pariwisata Dinporarapar ini, Purbalingga memiliki bukti bahwa di masa kolonial itu Purbalingga menjadi salah satu daerah produksi gula, teh dan tembakau.

“Ada dua pabrik gula di Bojong dan Kalimanah serta pabrik tembakau besar di Kandanggampang yang bahkan berproduksi hingga tahun 1980an. Purbalingga juga menjadi pangkalan udara Wirasaba yang merupakan pangkalan militer penting di wilayah Jawa Tengah bagian selatan-barat,” lanjutnya.

Gunanto menambahkan, pada saat Perang Kemerdekaan, rakyat Purbalingga juga bangkit untuk melawan penjajahan. Diantaranya terjadinya peristiwa Perang Blater, Perang Pepedan, Perang Lamuk, Sabotase Belanda di Bobotsari dan lainnya.

“Seorang serdadu Belanda bernama Letnan Hans Gerritsen bahkan secara khusus menulis buku atas pengalaman selama tugas militernya di Purbalingga berjudul ‘De Hinderlag Bij Sindoeradja’,” imbuh penulis 5 buku sejarah Purbalingga ini menutup diskusi.(*)

Pos terkait