MERCUSUAR, MADIUN- DESA wisata terbukti menjadi pengungkit ekonomi yang efektif di perdesaan. Tak sekadar menjadi destinasi, desa wisata berperan strategis dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, memperkuat jejaring UMKM, hingga menambah volume pendapatan asli desa (PADes).
Dalam lima tahun terakhir, jumlah desa wisata terus meningkat. Saat ini tercatat 6.016 desa wisata tersebar di seluruh Indonesia, dan sekitar 45 persen di antaranya tengah berkembang menuju desa wisata berkelanjutan.
Desa-desa yang mengandalkan kekayaan seni budaya, warisan sejarah, sumber daya alam, hingga destinasi buatan, kian eksis dan diminati wisatawan.
Dampaknya, perputaran ekonomi desa ikut terdongkrak.
Kekuatan ekonomi desa wisata kian nyata saat musim libur panjang, seperti momentum Lebaran tahun ini.
Selama libur 12 hari, desa wisata mampu mendorong belanja masyarakat dan menciptakan sirkulasi uang hingga triliunan rupiah.
Bahkan, keberadaan desa wisata menjadi penyangga ekonomi lokal yang turut menahan laju deflasi nasional yang sempat menyentuh angka 0,76 persen pada awal Maret 2025.
Fenomena ini menciptakan anomali positif. Di saat daya beli nasional menurun dan indikator ekonomi makro menunjukkan tren perlambatan, desa wisata justru tampil sebagai penggerak roda ekonomi mikro.
Dari Rp 136 triliun dana pemudik, sekitar 35 persen terserap untuk sektor pariwisata desa.
Selain menggerakkan UMKM, desa wisata juga membuka lapangan kerja dan menahan laju urbanisasi.
Sayangnya, geliat desa wisata di kawasan Madiun Raya masih kurang menggembirakan.
Tidak banyak desa yang dikembangkan dengan visi ekonomi kepariwisataan.
Mayoritas hanya sekadar memenuhi target capaian dalam rencana strategis (renstra) pemda, berupa pengesahan status desa wisata melalui SK kepala daerah.
Padahal, kawasan Madiun Raya menyimpan banyak potensi sosial, budaya, dan ekonomi yang bisa dikembangkan dalam kerangka desa wisata tematik.
Desa wisata berbasis alam, budaya, industri, ekonomi kreatif, hingga wisata buatan bisa menjadi pilihan.
Saat ini, hanya segelintir desa yang telah benar-benar memberikan manfaat ekonomi bagi daerah.
Misalnya, Desa Wisata Gunungsari (Kabupaten Madiun), Sendang (Pacitan), Randugede (Magetan), dan Brubuh (Ngawi). Desa-desa ini menjadi role model, meski masih butuh banyak penguatan.
Butuh kecerdasan visioner untuk mengembangkan desa wisata secara menyeluruh.
Dibutuhkan pemahaman mendalam tentang bisnis pariwisata, penguatan kelembagaan profesional, penyediaan layanan wisata berbasis kebutuhan pasar, serta strategi keberlanjutan yang matang.
Partisipasi masyarakat juga harus diperkuat melalui skema investasi kolektif dan optimalisasi aset desa.
Desa wisata harus menjadi ruang kolaborasi semua pihak yang memiliki semangat bersama memajukan desa, dengan menempatkan pariwisata sebagai instrumen peningkatan ekonomi.
Pemerintah daerah seharusnya tidak cukup hanya menerbitkan SK penetapan desa wisata.
Peran mereka harus lebih aktif: turun langsung merancang kebijakan, riset partisipatif, memediasi antar pihak, mengalokasikan bantuan keuangan khusus, hingga promosi dan advokasi.
Bahkan, keberhasilan desa wisata perlu diintegrasikan dalam ekosistem bisnis wisata privat agar lebih kuat dan berkelanjutan.
Peluang desa-desa di Madiun Raya untuk menjadi desa wisata unggulan terbuka lebar. Ambil contoh Klaten.
Desa wisata di sana seperti Wunut, Janti, dan Sidowayah memanfaatkan sumber daya air untuk mendongkrak ekonomi desa.
Mereka mampu mencetak PADes hingga Rp 3 miliar per tahun. Dana itu digunakan untuk membiayai layanan publik seperti BPJS warga miskin, honor guru PAUD, hingga THR untuk masyarakat.
Desa-desa di Magetan yang berada di lereng utara Gunung Lawu sejatinya punya potensi serupa.
Sumber daya air melimpah bisa menjadi basis pengembangan desa wisata air seperti di Klaten.
Ini hanya soal mindset, kebijakan daerah, dukungan program, dan kemampuan berkolaborasi.
Mengembangkan desa wisata yang andal berarti memperkuat ketahanan ekonomi perdesaan sekaligus menopang pondasi ekonomi daerah.
Jika dikembangkan secara kolaboratif, desa wisata akan mampu menyumbang PAD, mengurangi pengangguran, memperkuat daya beli masyarakat, dan menggerakkan UMKM lintas desa.
Oleh karena itu, penting disusun desain strategis pengembangan desa wisata di Madiun Raya dalam kerangka ekonomi daerah.
Desa wisata bukan sekadar etalase keindahan, tapi mesin ekonomi baru yang mampu menyerap investasi, menggerakkan perdagangan, dan memperkuat fondasi fiskal desa.
Lebih dari itu, desa wisata yang dikelola layaknya BUMDes profesional terbukti membawa manfaat berlipat bagi banyak pihak.
Maka, desa wisata harus dikelola sebagai entitas bisnis jangka panjang yang berdaya saing tinggi dan menjawab tantangan zaman. (Oleh: Trisno Yulianto/Radar Madiun*)