MERCUSUAR, Magelang – Penutupan wisata alam kawasan Blumbangroto di Desa Adipuro, Kaliangkrik, Magelang, telah menjadi sorotan di media sosial. Kepala Desa Adipuro, Waluyo, menyampaikan bahwa penutupan ini dilakukan karena banyak petani yang mengeluh sulitnya turun saat membawa beban akibat berpapasan dengan pengunjung di jalan yang sempit.
“Dari desa belum merekomendasikan untuk wisata. Tapi banyak orang datang ke situ sehingga mosting, foto. Kita tidak tahu juga kalau Blumbangroto akan menjadi seperti ini viralnya. Memang pemandangannya bagus. Tapi, di situ belum ada lahan parkir, belum ada stan untuk berfoto-foto. Memang belum disiapkan sebagai jalur wisata,” kata Waluyo saat ditemui wartawan di kantornya, Senin (29/7/2024).
Waluyo juga menjelaskan bahwa jalan di kawasan itu memang sudah dipaving, tetapi tujuannya untuk jalan usaha tani alias untuk aktivitas bertani warga setempat. Kekhawatiran lain yang muncul adalah kemungkinan lahan mereka dibeli oleh investor jika kawasan Blumbangroto menjadi objek wisata. “Iya, itu salah satu kekhawatiran juga. Karena orang sini lahannya sedikit, sehingga kalau nanti dijual istilahnya mesakke anak putune (kasihan anak cucunya). Kehilangan aset selamanya,” ujar Waluyo.
Kawasan Blumbangroto mulai ramai dikunjungi wisatawan sejak sekitar setahun lalu. Menanggapi hal ini, Waluyo mengatakan bahwa penutupan kawasan itu untuk wisata sudah disampaikan ke Kominfo dan papan pengumuman juga telah dipasang. “Di situ sudah ada plang, tulisannya ‘jalan usaha tani, bukan jalan wisata’. Karena memang di atas tidak ada semacam objek, tidak dipersiapkan untuk itu. Mobil kalau ke atas tidak bisa, di atas tidak ada tempat putar. Itu jalurnya hanya untuk sepeda motor,” ucap Waluyo.
Keluhan petani memang tidak bisa diabaikan. Mereka merasa terganggu saat membawa beban hasil panen dan berpapasan dengan pengunjung. “Keluhannya (petani) kalau pas turun membawa beban. Mengganggu. Jalannya tidak cukup untuk berpapasan karena mereka juga membawa rumput entah apa (muatan hasil panen), kan panjang. Itu susah, kalau akan menghindar tidak bisa,” sambung dia.
Camat Kaliangkrik, Djoko Susilo, menambahkan bahwa Blumbangroto merupakan spot pemandangan yang berada di Dusun Prampelan, Desa Adipuro. “Kebanyakan wilayah di Kecamatan Kaliangkrik yang berada di lereng Sumbing memiliki titik-titik spot pemandangan yang sangat indah, salah satu di antaranya Blumbangroto,” kata Djoko. Namun, Djoko juga mengonfirmasi bahwa Blumbangroto belum dikelola secara resmi sebagai objek wisata.
Desa Adipuro memiliki rencana untuk mengembangkan menjadi desa wisata, tetapi masih disinkronkan dengan kultur yang ada di desa tersebut. “Karena Desa Adipuro bercirikan kultur religius. Sehingga ini bukan hal mudah untuk bisa memahamkan kepada masyarakat bahwa efek-efek dari pengembangan wisata itu. Harapannya tidak kemudian mempengaruhi kultur yang ada di desa,” jelasnya.
Menurut Djoko, pengembangan objek wisata paling tidak membutuhkan tiga hal yaitu aksesibilitas, amenitas, dan atraksi. “Dari sisi aksesibilitas, wilayah atau daerah yang dijadikan titik spot hanya berupa jalan usaha tani. Sehingga pengunjung juga beraktivitas di situ, kemudian memarkirkan kendaraan juga di situ. Sehingga kebutuhan masyarakat dalam membawa produksi pertanian dan melakukan aktivitas pertanian menjadi agak terganggu,”ujar Djoko.
“Sebenarnya bahasanya bukan penutupan, karena memang selama ini belum dibuka, jadi secara alami. Hanya masyarakat berharap, potensi yang ada ini nanti akan dicoba dikembangkan dengan masyarakat menyiapkan sarana dan prasarana yang ada. Sehingga ke depannya Blumbangroto barangkali juga menjadi salah satu titik spot wisata yang ada di Kecamatan Kaliangkrik,” imbuh Djoko.
Sementara itu, petani lokal seperti Muhafi (45) dari Dusun Prampelan, Desa Adipuro, sangat menentang ide menjadikan Blumbangroto sebagai tempat wisata. “Ini bukan tempat wisata, hanya jalan tani. Kalau wisata sana (Nepal van Java), nggak setuju (jadi objek wisata) karena mengganggu orang tani,” kata Muhafi. Dia juga menambahkan bahwa pengunjung sering kali parkir di jalan, tidak mau minggir, menginjak lahan pertanian, dan membuang sampah sembarangan, sehingga warga setempat tidak setuju dengan pengembangan Blumbangroto sebagai objek wisata. (Bgs)