Dicurigai Belanda Mengajarkan Buat Bom
MERCUSUAR.CO, SEPULANG dari Mekah semasa penjajahan Belanda, Syekh Abdurrahman yang mengajarkan Thariqah dicap sebagai pemberontak. Bahkan pengajiannya yang dilakukan dengan berdzikir sambil memutar tasbih itu dicurigai sedang mengajarkan membuat bom.
“Di sini saya merinding dan selalu menitikkan air mata ketika membaca riwayat beliau,” kata Wakil Direktur Yayasan Kholidiyah Pondok Pesantren Al Huda Jetis, Munginsidi kepada Suara Merdeka, seraya menunjukkan buku perjalanan singkat Syekh Abdurrahman.
Menurut Munginsidi, Abdurrahman yang sebelumnya bernama Solihin menuntut Ilmu Thariqah di Jabal Qubbais hingga menjadi Mursyid dan bergelar Syekh. Awalnya berguru kepada Syekh Abdur Rauf. Kemudian melanjutkan menimba ilmu kepada Syekh Sulaiman Zuhdi. “Atas pencapaian ilmu yang tinggi itulah beliau diberi nama Syekh Abdurrahman,” terang Munginsidi.
Perjaanannya dikisahkan sejak Solihin kecil ditugasi pamannya untuk mengembalakan kerbau di desa asal, Gebrek, Kecamatan Ambal, Kebumen. Hingga pada suatu saat terdapat kerbau yang hilang. Solihin yang tidak berani pulang pun mencari sampai pesisir pantai Selatan. Belum juga ketemu hingga berhari-hari, Solihin masih berjalan ke arah Timur. Lama tidak kunjung pulang, orang tuanya menganggap Solihin meninggal dunia dimakan binatang buas. Sedangkan Solihin yang terus berjalan menemukan Pondok Pesantren Wringin Agung Jawa Timur.
Pencarian kerbau yang hilang itu mengantarkannya mengaji dengan bersungguh-sungguh di pesantren tersebut. Setelah dirasa cukup, Solihin bermaksud hendak meneruskan menimba ilmu di Mekah. Sang gurunya memperbolehkan, namun dengan syarat harus ziarah terlebih dahulu ke Pamijahan Jawa Barat dan berpamitan dengan orang tuanya.
Dhawuh atau perintah dari kianya itu dipenuhi Solihin dengan pulang ke rumah. Awalnya saat tiba di rumah tidak dikenali oleh orang tuanya. Apalagi bersangkutan telah mengira Solihin sudah meninggal dunia. Baru kemudian bisa mengenali setelah mengetahui ciri terdapat toh atau tahi lalat di punggung Solihin. Pecahlah tangis haru dari orang tuanya dengan menyebut “Solihin hidup kembali”.
Solihin yang mengantongi restu orang tua dan guru pun berziarah ke Pamijahan Jawa Barat dan kembali menemui kiainya di Wringin Agung Jawa Timur. Selanjutnya meneruskan menimba ilmu di Mekah hingga menjadi Mursyid Thariqah dan bergelar Syekh Abdurrahman.
Gegerasi Keempat
Pulang ke Tanah Air dengan mengajarkan Ilmu Thariqah di desa kelahirannya, Syekh Abdurrahman mendapatkan fitnah dari penjajah Belanda. “Beliau sempat dilaporkan ke Penjajah Belanda karena dicurigai mengajarkan membuat bom untuk memberontak,” tambah Munginsidi. Kecurigaan tersebut lantaran saat pengajian, Syekh Abdurrahman berdzikir sambil memutar tasbih. Di mana butiran tasbih itu disebut bisa meledak dan meluluhlantakan apa saja yang ada di sekitarnya, layaknya bom.
Syekh Abdurrahman pun ditangkap dan dibawa ke Pusat Pemerintahan Belanda di Kebumen. Meski ada kiai kepercayaan Belanda yang menjelaskan bahwa ajaran Syekh Abdurrahman tidak berpotensi memberontak, namun pimpinan penjajah masih khawatir. Untuk mempermudah dalam pengawasan, Belanda menempatkan Syekh Abdurrahman di wilayah perkotaan. Gayung bersambut ketika kepala Desa Kutosari membutuhkan kiai untuk tinggal di desanya.
Syekh Abdurrahman kemudian dibuatkan rumah dan Musholla di Dukuh Jetis Desa Kutosari, dekat Sungai Lukulo. Saat itu masih berupa perbukitan yang lebat dan angker. Hingga beberapa tahun Syekh Abdurrahman mengajarkan ilmu agama Islam dan Thariqah Naqsyabandiyah Kholidiyah di Jetis. Sepeninggalnya yang dimakamkan di kompleks pesantren setempat, kemursyidan dilanjutkan oleh KH Husain, tetapi hanya diasuh kurang lebih tiga tahun.
Karena KH Husain tidak mempunyai anak laki-laki, kemudian kemursyidan dipegang KH Hasbullah, anak kedua dari KH Abdurrahman. Sepeninggal KH Hasbullah, dilanjutkan oleh putra pertamanya yakni KH Machfudz. Sejak itu Pondok Pesantren Jetis diberi nama Al Huda. Kemudian setelah KH Machfudz wafat, kemursyidan dipegang oleh putra sulungnya, KH Abdul Kholiq.
“Setelah beliau (KH Abdul Kholiq) wafat, sesuai wasiat Mbah Machfudz, kemursyidan diteruskan oleh adiknya yaitu syaikhina wamurabbiruhina KH Wahib Machfudz,” ucap Munginsidi. Dikemukakan, KH Wahib Machfudz merupakan generasi keempat setelah KH Abdurrahman mendirikan Pondok Pesantren Jetis pada 1880. Selain meneruskan kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyah Kholidiyah yang merambah ke seluruh belahan nusantara, Pondok Pesantren Al Huda Jetis terus berkembang di bawah asuhan KH Wahib Machfudz hingga sekarang.
Tidak hanya di Desa Jetis, tetapi merambah Desa Jemur, Depokrejo, Karangsambung dan Desa Candiwulan Kecamatan Adimulyo sampai luar kota di Desa Sidayu, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap. Lembaga pendidikan yang dinaungi Yayasan Kholidiyah pimpinan KH Wahib Mahfudz pun mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK. Dan kiprahnya mampu melahirkan santri berprestasi.
“Banyak pula santri mengikuti jejak beliau yang pernah membawa nama harum Kebumen sebagai qori terbaik atau juara satu tingkat nasional pada tahun 1976,” jelas Munginsidi. KH Wahib Machfudz yang kakak kandung mantan Bupati Kebumen KH Yazid Mahfudz itu juga mendirikan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al Huda Jetis. Di mana setelah jamaahnya berhaji tergabung dalam Ikatan Keluarga Alumni Mabiha (Iklima).