BANJARNEGARA, Mercusuar.co– Pementasan teater dengan lakon “raung silago” oleh group teater lentera Jepara dan Monolog dari Dewan Kesenian Banjarnegara di gedung Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Banjarnegara pada Sabtu malam , (31/5/2025) mampu menghipnotis ratusan penonton dan para pegiatan seni teater di Banjarnegara.
Pementasan Teater dengan lakon “raung silugo” dari teater lentera Jepara bercerita tentang kerusakan alam laut akibat aktivitas penambangan pasir laut, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan hingga persoalan sampah di pantai dan laut yang membuat hilangnya tempat tinggal habitat makhluk laut.
Dalam pagelaran bersurasi 90 menit itu teater lentera menceritakan kisah pada pada masa kekuasaan Kaisar Pom Pom banyak para Kroco bersikap semaunya, karena merasa punya kuasa.
Mereka merongrong segala kehidupan bawah laut.
Melalui operasi Jaring Iblis, para Kroco memanfaatkan kesempatan itu untuk berebut kekuasaan.
Satu sama lain bermaksud menguasai seluruh dunia bawah laut, menguras isinya, dan memperbudak setiap penghuni lautan.
Silago yang menyadari akan tindakan kroni-kroni tersebut, berniat untuk melakukan perlawanan dengan mengajak Jambrong, Barbaron dan para Ordo untuk memunculkan pemberontakan.
Namun pada akhirnya Silago terjebak sendiri di situasi yang tidak disangkanya.
Sementara Dewan Kesenian Banjarnegara yang menampilkan Monolog dengan judul pagar laut menampilkan cerita penderitaan dan jeritan hati nelayan kecil yang kehilangan haknya atas laut tempat mereka bertahan hidup.
Cerita dibuka dengan kehidupan sederhana namun penuh syukur para nelayan, yang menjadikan laut sebagai rumah kedua mereka. Laut memberi kehidupan, dan mereka pun menjaganya dengan cinta dan kebijaksanaan turun-temurun.
Namun, segalanya berubah ketika pejabat-pejabat kota datang membawa “kebijakan baru” dengan pembangunan pagar laut demi dalih menjaga ekosistem.
Dalam pelaksanannya pagar itu bukan pelindung, melainkan jeruji yang merampas kemerdekaan nelayan kecil. Hak untuk melaut dibatasi, dan yang melanggar diancam dengan denda bahkan penjara sementara kapal-kapal besar terus bebas beroperasi.
Naskah ini menghadirkan kemarahan yang tak bisa dibendung, kesedihan yang dalam, dan perasaan terkhianati oleh sistem yang lebih mementingkan keuntungan daripada keadilan. Puncaknya adalah simbolisme jaring yang dulu menjadi alat mencari hidup kini justru menjadi jerat yang menenggelamkan harapan.
Kepala Dinas Pariwisata Banjarnegara Tursiman berharap seni teater di Banjarnegara bisa terus berkembang.
Ia juga menganggap pentingnya seni teater dalam melestarikan budaya lokal, membangun karakter, dan mendorong pariwisata di Banjarnegara sekaligus media yang efektif untuk mengajarkan nilai-nilai budaya, moral, dan sosial kepada generasi muda.
“Seni teater tradisional adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya suatu daerah sehingga sangat penting untuk mendukung pelestarian dan menjaga keberadaan seni teater tradisional,” katanya.
Seni teater lanjut Tusiman juga dapat diintegrasikan dengan objek wisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.
Sementara Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Banjarnegara Ismawan Setya Handoko berharap kehadiran teater lentera dari Kabupaten Jepara bisa menjadi contoh kematangan seni teater agar bisa di contoh oleh seniman teater di Banjarnegara.
Ia berharap kedepan seni teater bisa menjadi ruang ekspresi bagi generasi muda di bidang seni dan budaya.
“Kami berencana untuk menggunakan Balai Budaya Bnajarnegara untuk pusat kegiatan seni dan budaya sehingga bisa memberikan ruang bagi seniman untuk berkarya dan menciptakan karya-karya teater yang inovatif,” katanya.(anhar)