Nyadran Gede di Desa Gumelem Sebagai Kegiatan Rutin Mengenang Perjalanan Ki Ageng Giring

IMG 20240308 WA0054
Suasana Doa bersama dan menikmati sajian 73 nasi tumpeng di halaman makam Grilangan, Kamis (7/3/2024)

MERCUSUAR.CO, Banjarnegara – 73 nasi tumpeng meriahkan acara Nyadran Gede desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Kamis (7/3/2024). Kegiatan ritual yang rutin dilakukan pada tiap bulan Sadran (Ruwah) dipusatkan di makam Ki Ageng Giring, Gerilangan, Desa Gumelem.

“Ruwah artinya ruh dan arwah. Sehingga peringatan bulan Sadran dipusatkan di makam. Adapun kenapa dilaksanakan di makam Ki Ageng Giring, karena ini terkait dengan sejarah desa Gumelem,” ungkap Mujeri, juru kunci makam Ki Ageng Giring, Kamis (7/3/2024).

Bacaan Lainnya

Mujeri mengisahkan, pada jaman sebelum Kasultanan Mataram berdiri, Ki Ageng Giring mendapat petunjuk dari Sunan Kalijaga untuk mencari pohon kelapa kelapa yang hanya memiliki satu butir kelapa  muda hijau. Sunan Kalijaga menyuruhnya memetik dan meminum airnya dengan pesan jika menginginkan anak turunnya bisa menjadi orang terhormat, punya kedudukan tinggi.

Upaya pencarianpun dilakukan, Ki Ageng Giring berhasil mendapatkan apa yang dimaksud Kanjeng Sunan. Namun begitu, harapannya kandas tatkala buah kelapa muda yang baru saja dipetik justru diminum oleh kakanya, Ki Ageng Pemanahan.

Dari peristiwa tersebut Ki Ageng Giring akhirnya mengalah dan pergi meninggalkan rumah untuk pergi ke arah barat. Dalam kisahnya Ki Ageng Giring akhirnya sampai ke telatah Kademangan Wirasaba, yakni bermukim di desa Kemangkon (saat ini merupakan salah satu Kecamatan di ujung barat Kabupaten Purbalingga).

Setelah lama tinggal di wilayah Kademangan Wirasaba yang saat itu telah dibagi empat oleh Joko Kaimana atau yang termasyhur dengan sebutan Adipati Merapat, Ki Ageng Giring wafat.

Diceritakan, sebelum wafat Ki Ageng Giring berpesan kepada para santrinya, jika dirinya meninggal dunia harap dimakamkan di wilayah selatan sungai Serayu. Sedang posisi Desa Kemangkon berada di Utara sungai Serayu.

Dengan menggunakan sampan yang terbuat dari pelepah pohon pisang (dalam istilah Jawa disebut Blarak), jazad Ki Ageng Giring dibawa menyeberangi sungai Serayu menuju arah selatan. Ini yang kemudian di lintasan penyeberangan tersebut dinamai dukuh Blarak.

Kemudian jasad Ki Ageng Giring digotong kembali berjalan ke arah selatan. Di sebuah pinggiran sungai kecil para pengusung jazad Ki Ageng Giring berhenti, mereka istirahat dan mandi. Namun salah satu dari mereka ada yang tenggelam (ketilem atau Gumelem  – istilah Jawa). Maka sebagai tanda disebutlah tempat tersebut dengan sebutan Ketilem atau Gumelem.

Kemudian mereka kembali berjalan ke arah selatan, menaiki bukit dan beristirahat di atas lahan yang datar. Lama mereka beristirahat karena lelah telah menaiki bukit yang tinggi. Namun setelah mereka mencoba untuk kembali berjalan membawa keranda yang berisi jasad Ki Ageng Giring, mereka terkejut karena keranda tidak lagi berat, karena di dalamnya tidak ditemukan jasad Ki Ageng Giring.

Di situlah kemudian, para santri Ki Ageng Giring kemudian menggali tanah dan menguburkan keranda yang sudah kosong tersebut sebagai tanda telah dimakamkannya Ki Ageng Giring yang hilang.

Dengan kejadian tersebut, kemudian para santri Ki Ageng Giring sepakat memberi nama tempat tersebut dengan sebutan Grilangan. Ada yang memberi tafsir tempat di mana Ki Ageng Giring hilang (ilang), ada yang menyebut Giri berati gunung, Langan berati kehilangan atau kelangan dalam istilah Jawa.

Kemudian setelah peristiwa tersebut, makan Ki Ageng Giring sering didatangi peziarah hingga saat ini. Dan dari pihak desa Gumelem menjadikan bulan Sadran atau Ruwah pada tahun Jawa atau Hijriah menempatkan makam tersebut sebagai pusat kegiatan “Nyadran Gede”, yakni ritual berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan, kelancaran rizki, dan kedamaian warga desa Gumelem dan sekitarnya.(Angga)

Pos terkait