Mercusuar – Malam di kaki Gunung Rinjani, Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, kerap memunculkan kesan mistis sekaligus romantis.
Udara dingin yang menusuk, langit yang bertabur bintang, dan siluet Gunung Rinjani yang megah menciptakan suasana yang sulit ditemukan di tempat lain.
Namun, pada Sabtu malam, 23 Agustus 2025, suasana itu diperkaya dengan gelak tawa, musik, dan obrolan hangat dalam kegiatan Intimate Camp—sebuah pertemuan akrab yang menjadi bagian dari rangkaian Rinjani Color Run 3.
Di halaman terbuka dekat area lari, api unggun menyala. Cahaya jingganya menari di wajah ratusan peserta yang duduk melingkar.
Direktur Komersial, Pengembangan Bisnis dan Teknologi Informasi Perum LKBN ANTARA Jaka Sugiyanta, Kepala Biro ANTARA NTB Abdul Hakim, Kepala Museum NTB Ahmad Nuralam hingga Kepala Dinas Kominfotik NTB Yusron Hadi hadir bersama masyarakat. Tidak ada sekat formal.
Semua larut dalam suasana yang cair: berdiskusi, mendengarkan musik, hingga menikmati kopi hangat yang tersaji.
Sejak awal, Intimate Camp didesain untuk menghadirkan pengalaman berbeda, bukan seminar, bukan panggung hiburan massal, melainkan sebuah ruang perjumpaan yang sahdu. Api unggun menjadi pusat suasana—melambangkan kehangatan, kebersamaan, sekaligus harapan yang menyala.
Acara dibuka dengan bincang ringan tentang desa tangguh dan peran masyarakat dalam membangun pariwisata yang berkelanjutan. Namun diskusi ini jauh dari kesan kaku. Candaan dari komika lokal menyelip di antara sesi, membuat suasana tetap hangat. Setelah itu, giliran band Fun B mengisi malam dengan musik akustik yang syahdu. Anak muda menari kecil, sementara yang lain ikut bernyanyi bersama.
Suasana ini menghadirkan kesan bahwa pembangunan pariwisata tidak selalu harus diukur dari jumlah wisatawan atau omzet ekonomi, tetapi juga dari rasa kebersamaan yang tercipta. Intimate Camp menjadi bukti bahwa pariwisata bisa menghadirkan nilai lebih, membangun hubungan antarmanusia, antarwarga dan antarinstansi.
Antara pariwisata dan kebersamaan
Jika Rinjani Color Run adalah wajah sportainment, maka Intimate Camp adalah jantung emosionalnya. Di sinilah tercipta momen reflektif tentang arti kebersamaan. Api unggun yang menyala bukan sekadar simbol pesta malam, melainkan pengingat bahwa masyarakat NTB punya energi kolektif untuk bangkit bersama.
Bagi UMKM yang hadir di sekitar lokasi, Intimate Camp juga memberi dampak nyata. Warung kopi, penjual jagung bakar, hingga kios kecil yang menjual cenderamata laris manis malam itu. Namun yang lebih penting, mereka merasa diikutsertakan dalam sebuah acara yang memberi ruang bukan hanya untuk bisnis, tetapi juga untuk bersosialisasi.
Di sela hangatnya suasana Intimate Camp, hadir pula obrolan santai bersama Kadiskominfotik NTB, Yusron. Tanpa podium, tanpa naskah resmi, ia duduk melingkar bersama peserta, berbincang ringan soal masa depan desa wisata.
“Kalau bicara Sembalun, kita tidak hanya bicara soal gunung, tapi juga soal bagaimana desa ini bisa tangguh. Tangguh secara ekonomi, tangguh secara sosial, dan tentu tangguh dalam menghadapi perubahan zaman,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia menyebutkan konsep Desa Tangguh Menuju Destinasi Unggulan harus dimulai dari kesadaran masyarakat. Menurutnya, pariwisata yang kuat itu lahir dari desa yang percaya diri, yang warganya bisa berdiri sama tinggi dengan para tamu. Jadi, bukan sekadar indah pemandangannya, tapi juga kokoh pondasi sosial dan budayanya.
Obrolan santai itu pun disambut hangat peserta. Beberapa mengangguk, sebagian lain menimpali dengan pertanyaan ringan. Tak ada jarak antara pejabat dan anak muda malam itu. Yang ada hanyalah rasa ingin tahu dan keyakinan bahwa Sembalun, dan desa-desa lain di NTB, punya masa depan besar jika tetap tangguh.
Dan di situlah letak keistimewaan Intimate Camp, menghadirkan ruang edukasi yang mengalir, tanpa terasa sedang belajar, namun meninggalkan bekas dalam cara pandang peserta tentang desa, wisata, dan masa depan NTB.
Ada satu hal yang sangat terasa dari malam itu yakni tumbuhnya rasa komunitas. Peserta bukan hanya berasal dari Sembalun, melainkan juga dari Mataram, Lombok Tengah, hingga luar NTB. Mereka datang dengan latar belakang berbeda ada pelari, jurnalis, pegiat UMKM hingga pejabat.
Namun begitu api unggun menyala, sekat itu hilang. Semua sama-sama tertawa, sama-sama menyanyi, sama-sama menikmati kehangatan malam. Inilah wajah masyarakat yang inklusif—sebuah nilai yang patut dirawat dalam setiap pembangunan pariwisata.
Refleksi dan tantangan
Meski berhasil meninggalkan kesan mendalam, Intimate Camp juga menghadirkan tantangan. Pertama, soal keberlanjutan. Apakah kegiatan semacam ini hanya akan menjadi euforia sesaat, atau bisa menjadi agenda rutin yang mengakar?
Kedua, soal partisipasi masyarakat. Ke depan, warga lokal perlu diberi porsi lebih besar dalam mengisi acara, misalnya kelompok seni tradisional, pegiat literasi desa, atau komunitas pemuda. Dengan begitu, Intimate Camp benar-benar menjadi panggung bersama, bukan hanya milik panitia.
Ketiga, soal dokumentasi dan narasi. Suasana syahdu dan penuh makna ini perlu terus dipublikasikan secara kreatif agar gaungnya meluas, punya peran penting memastikan pesan kebersamaan ini tidak berhenti di Sembalun, melainkan bisa menjadi inspirasi nasional.
Pada akhirnya, Intimate Camp membuktikan satu hal sederhana, pembangunan bukan hanya soal angka, melainkan juga soal rasa. Malam itu, rasa keakraban, rasa kebersamaan, dan rasa cinta terhadap tanah air terpupuk di bawah langit Rinjani.
Esoknya, saat ribuan peserta larut dalam euforia Rinjani Color Run dengan bubuk warna yang beterbangan, semangat malam sebelumnya masih terasa. Api unggun boleh padam, tetapi bara semangat kebersamaan itu tetap menyala di hati peserta.
Intimate Camp adalah oase di tengah hiruk pikuk event besar. Ia menghadirkan ruang yang intim, hangat, dan penuh makna—mengingatkan kita bahwa pariwisata sejatinya adalah tentang manusia, tentang rasa saling memiliki, dan tentang harapan yang dirajut bersama.
Jika konsep ini dirawat dan diperkuat, Intimate Camp bisa menjadi ciri khas Rinjani Color Run yang membedakannya dari event serupa di tempat lain. Sebuah perhelatan yang bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga menghangatkan hati.